Saatnya Belajar dari Kanada

21/02/2009 - 16:27
Saatnya Belajar dari Kanada
Hamid Basyaib

MENGIRINGI perjalanan Presiden Obama ke Kanada, kolumnis Newsweek Fareed Zakaria menasihati Amerika agar mau belajar dari tetangga utara yang low profile itu.

Negeri berpenduduk 33 juta itu, kata Fareed, adalah satu-satunya negara kaya yang lolos dari krisis global. Tiada satu pun bank Kanada yang bangkrut. Tiada satu pun banknya yang menjerit minta talangan pemerintah. Atau jungkir balik karena kemacetan kredit perumahan, yang di Amerika merupakan pemicu krisis berat dewasa ini karena keliaran aturan main.

Bahkan, The Toronto-Dominion Bank, yang setahun lalu di peringkat ke-15 terbesar dunia, sekarang melompat ke posisi 5. Bukan terutama karena ia menggelembung cepat, tapi karena para pesaingnya terbenam ke dalam kebangkrutan. Untuk urusan perumahan, Kanada juga jempolan. Sebanyak 68,4% penduduk memiliki rumah sendiri.

Sistem perbankan Kanada, menurut World Economic Forum 2008, merupakan nomor satu di dunia. Amerika di urutan ke-40. Inggris ke-44.

Sejumlah indikator kesejahteraan pun mengesankan. Program kesehatan masyarakat jauh kebih murah daripada di AS. Dananya hanya 9,7% dari GDP, dibanding 15,2% di AS. Tapi kondisinya lebih baik menurut banyak indeks utama. Harapan hidup orang Kanada di atas Amerika (81:78), sementara rasio 'harapan hidup-sehat' adalah 72:69.

Kemudahan urusan imigrasi membuat Kanada memetik banyak untung. Pada 2007, Microsoft memutuskan membuka pusat riset di Vancouver, kota ketiga terbesar, berpenduduk 2,1 juta, karena frustrasi menghadapi aturan imigrasi yang menyulitkannya merekrut tenaga-tenaga ahli 'non-pribumi'.

Lembaga riset Microsoft itu dalam waktu singkat menyedot ahli-ahli berkebangsaan Cina dan India, yang berbondong pindah ke Vancouver. Orang Amerika pun cuma bisa mengeluh: mereka dididik lama di berbagai universitas Amerika, dan setelah pintar dipetik Kanada dengan mudahnya.

Di negeri baru yang nyaman itulah ahli-ahli tersebut bekerja, berinovasi – yang hasil-hasilnya akan paling banyak dinikmati Kanada – dan membayar pajak selama sisa hidup mereka.

Mahasiswa asing yang pintar-pintar itu bisa melamar kerja melalui fasilitas khusus, Canadian Skilled Worker Visa. Kalau mereka bisa mencapai skor 67 (dari total 100), mereka bisa menjadi warga dan pekerja penuh di Kanada. Untuk meraih angka itu tidak terlalu sulit, karena gelar Ph.D langsung diberi skor 25. Amerika, yang masih sangat konservatif dalam urusan imigrasi dan pekerja asing, akan terus gigit jari.

Apalagi fenomena brain drain eksternal sudah lama terjadi, yaitu kembalinya beramai-ramai para ahli Cina dan India untuk membangun negeri masing-masing, setelah bertahun-tahun mereka belajar dan bekerja di Amerika, karena terbukanya sejumlah peluang besar berkat kemajuan China dan India.

Dalam hal ini Amerika mengidap ironisme besar: negeri yang dibangun imigran itu kemudian mengidap semacam xenophobia, terutama dalam urusan perebutan peluang kerja, dan kini dalam proses ditinggalkan oleh kaum imigran terampil. 'Pencurian' lapangan kerja bahkan sudah lama terjadi tanpa migrasi.

Makin banyak perusahaan Amerika yang mengontrakkan bidang-bidang pekerjaan pada, misalnya, orang India. Bukan hanya dalam bisnis software komputer, tapi juga dalam bisnis pelayanan. Customer service sebuah perusahaan Amerika bisa berpusat di Mumbai. Kalau warga New York menelepon bank di kota itu, yang meladeni mungkin adalah gadis India di Bangalore, tanpa si warga New York menyadarinya – gadis-gadis itu dilatih khusus untuk bicara beraksen Amerika.

Presiden Obama mengayun langkah tepat dengan mengembalikan tradisi, yaitu mengunjungi Kanada sebagai negeri pertama yang didatangi seorang presiden baru (tradisi ini dilanggar oleh Bush, yang setelah terpilih pada 2000 mengunjungi Meksiko). Obama memahami nilai penting Kanada – negeri terluas kedua di dunia, mitra dagang dan pemasok energi terbesar Amerika, pemilik cadangan minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi.

Dari segi keamanan sosial pun Kanada jauh melampaui Amerika. Michael Moore, dalam dokumenternya yang meraih Oscar, Bowling to Columbine, menggambarkan kontras hal ini. Detroit, yang tingkat kriminalitasnya sangat merisaukan, hanya sepelemparan batu ke Ontario, tempat penduduk meninggalkan rumah tanpa menguncinya.

Fareed Zakaria menyarankan negerinya agar belajar dari tetangga yang kalem dan agak membosankan itu. Dengan prestasi finansialnya yang luar biasa, dijalankan dengan rumus kuno yaitu kehati-hatian konservatif, Kanada kini dengan percaya diri sedang mengusulkan sejumlah aturan baru dalam arsitektur keuangan dunia. Dan mengingat prestasi Kanada yang luar biasa, sementara para dominator lama, Amerika dan Eropa Barat, terpuruk, maka mau tak mau kali ini inisiatif Kanada harus disimak secermat mungkin oleh dunia.

Indonesia pun sudah saatnya menengok dan makin rajin belajar dari Kanada.

Penulis adalah Direktur Eksekutif SPIN (Strategic Political Intelligence)

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang