Jendela bashirah

Keteguhan orang-orang shalih adalah buah dari keyakinan kuat, yang kemudian melahirkan inspirasi yang jernih dalam memandang berbagai masalah. Sorot mata mereka jauh ke depan melewati dimensi ruang dan waktu. Pandangan (bashirah) mereka selalu berdiri pada keutamaan ukhrawi sebagai kehidupan hakiki yang akan mereka jalani. Mereka tidak memandang problematika hidup sebagai beban besar yang menggelayut hingga menahan gerak langkahnya untuk beramal demi kehidupan akhirat itu. Persis seperti yang disabdakan Rosulullah saw dalam sebuah hadits shahih, "Jadilah engkau di dunia seperti seorang asing (yang bukan berada di negerinya sendiri) atau seorang musafir."

Syarah hadits itu, menurut Imam Nawawi, adalah anjuran agar setiap manusia beriman menjadikan dunia hanya sebagai tempat singgah. Bukan tujuan akhir. Kenapa disebutkan seperti seorang asing? Lantaran tabiat orang yang berada di sebuah daerah yang bukan daerahnya akan sangat berhati-hati dari berbagai kemungkinan buruk. Ia akan berjalan di daerah itu dengan penuh waspada, hingga ia sampai pada tujuannya. Begitupun seorang musafir. Seorang musafir, petualang dan pengembara, tidak akan membebani diri dengan beban yang justru akan menghalanginya mencapai tujuan. Perbekalan yang dibawa hanyalah perbekalan yang secukupnya agar ia sampai pada tujuan, dan sama sekali tidak boleh memberatkan perjalanannya.

Bermula dari sanalah, sudut pandang (bashirah) para orang-orang shalih menjadi lebih jernih. Mereka juga mengalami masalah dalam keluarga, tapi mereka mengingat firman Allah swt, "Dan bergaullah dengan mereka secara ma’ruf. Bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa :19)

Menurut Imam alQurthubi, yang dimaksud dalam firman Allah "in karihtumuhunna" adalah karena keburukan sikap istri yang berada di luar kejahatan atau nusyuz. Dalam
menghadapi hal ini, bila seseorang mampu bersabar, dianjurkan bersabar. Karena bisa saja hal itu menjadi pintu awal, Allah memberinya rizki berupa anak-anak yang shalih. Ibnu Umar mengatakan, "Sesungguhnya seorang ada yang melakukan istikhoroh kepada Allah, lalu Allah pilihkan untuk dia. Tapi ia membenci Allah atas pilihan yang diberikan-Nya itu, dan dia tidak mau melihat akibatnya, padahal itu adalah kebaikan baginya."

Termasuk dalam konteks ini pula Abu Hurairah ra pernah menyampaikan sabda Rasulullah saw, "Janganlah seorang mukmin membenci orang mukmin perempuan yang menjadi istrinya. Sebab bila ia membencinya terhadap satu prilaku, ia pasti akan ridha dengan perilakunya yang lain," (HR. Muslim). Artinya, jangan memarahi dan membenci istri secara keseluruhan yang dapat membawa sikap suami untuk mencerainya. Maafkanlah keburukannya dengan melihat aspek kebaikannya. Tutupilah apa yang dibenci itu dengan apa yang disukai.
Dahulu, ada seorang Syaikh bernama Abu Muhammadi bin Ubay bin Zaid. Ia orang berilmu dan memiliki kedudukan terpandang karena ilmunya. Ia memiliki istri yang buruk sikapnya. Ia kerap melalaikan hak-hak suami dan kerap juga menyakiti dengan lisannya. Ketika ditanyakan hal itu ia mengatakan. "Saya telah diberi kesempurnaan Allah melalui nikmat kesehatan badan dan diberi keluasan ilmu pengetahuan. Mungkin keadaan isteri saya itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang saya lakukan. Karena itu, aku takut jika aku menceraikannya, Allah akan memberiku hukuman yang lebih berat dari apa yang aku alami dari sikap isteriku itu."

Para orang-orang sholih itu selalu menggantung dan menyandarkan semua sisi hidupnya kepada pengetahuan Allah swt. Itu yang menyebabkan mereka pantang patah semangat, pantang putus asa menghadapi ketentuan Allah swt. Dalam kerangka itu pula Rasulullah saw mengajarkan para sahabatnya untuk selalu melakukan sholat istikharah. Bahkan dalam sebuah hadits shahih disebutkan, intensitas Rasulullah mengajarkan istikharah itu sebagaimana ia mengajarkan surat Al-fatihah kepada para sahabatnya.

Perhatikanlah isi do’ayang diajarkan Rasulullah setelah shalat istikharah. "Bila hal ini baik bagiku bagi agamaku, kehidupanku dan akibat masalahku, maka tetapkanlah hal itu untukku dan mudahkanlah bagiku kemudian limpahkanlah barakah kepadaku di dalamnya." Dengan redaksi yang lain, potongan do’a itu adalah, "Jika masalah yang kuinginkan sesuai dengan kekuatan akalku yang lemah dan ilmuku yang terbatas itu baik bagiku, maka tetapkanlah hal itu padaku dan takdirkanlah hal itu dengan penuh limpahan berkah terhadap pilihanku itu. Lalu mudahkanlah dan jangan sulitkan aku memperolehnya. Kemudian berkahilah akibatnya, hal itu tidak mendatangkan apapun kecuali kebaikan."

Muslim yang benar adalah yang menjadikan kehidupan untuk agamanya menjadi prioritas di atas segalanya. Karena hal itulah yang menjadi pertimbangan pertamanya untuk menimbang berbagai masalah alternatif lainnya. Apakah alternatif ini baik untuk agamanya, akan memperkuat imannya dan menambah kebaikan baginya? Setelah itu barulah pertimbangan faktor dunia dan kehidupan. Apakah pilihan itu akan membawa maslahat duniawi yang baik? Setelah itu, barulah dipertimbangkan akibat dari semuanya.

Isi do’a istikharah tersebut mengajarkan keistimewaan seorang muslim dengan pandangan yang jauh dan wawasan yang luas. Ia tidak memikirkan sesuatu yang berjangka pendek saja. Ia akan memandang jauh ke depan. Berapa banyak masalah yang ditimbang baik pada saat ini tapi ternyata buruk pada masa depan? Nah, kalau masalah itu sudah baik sesuai timbangan tiga tersebut ; agama, dunia dan akibat semua itu, maka itu pasti pilihan yang paling baik. Kebalikannya, bila masalah yang diinginkan itu tidak sesuai dengan timbangan tersebut, maka itulah keburukan.

Imam Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan, "Sesungguhnya seorang hamba bila mengetahui bahwa suatu keburukan bisa saja mendatangkan suatu kesenangan. Sebaliknya suatu yang disukai bisa saja mendatangkan keburukan. Maka ia tidak akan merasa aman dari tertimpa kesulitan di samping kesenangan, dan dia juga tidak akan menjadi putus asa bila ia ditimpa kesenangan di samping kesulitan. Sebabnya, ia tidak mengetahui apa akibat semua itu. " (al-Fawaid, Ibnul Qayyim)

Sayyid Quthb dalam tafsirnya mengatakan, "Setiap manusia dalam pengalamannya secara khusus, mampu mendapatkan banyak ketidaksukaan. Akan tetapi di belakangnya is mendapat kebaikan yang melimpah dan kelezatan yang banyak. Berapa banyak permintaan yang dipinta dengan sangat bahkan merasa sangat rugi bila sampai hilang kesempatannya memperolehnya. Tapi di waktu berikutnya saat permintaan itu tidak diperoleh, ternyata terbukti justeru hal itu berupa penyelamatan Allah dari berbagai keburukan. Berapa banyak ujian yang dirasakan seseorang hampir saja memutuskan harapannya, kemudian ia melihat ternyata ujian itulah yang dapat menumbuhkan kebaikan dari hidupnya."

Demikian pula seorang hamba yang menghendaki dunia, kemudian Allah menghalanginya dari memperoleh hal itu karena kasih sayangnya. Bila ia bisa memahami segala sesuatu itu hanya berasal dari Allah, maka ia menyerahkan masalah itu pada Allah. Tapi bila ia tidak memahami hal itu, ia akan menyesal dan marah. Dan ternyata rahasia itu baru terbukti setelahnya. Barulah ia tahu kebaikannya pada waktu itu. Wallahu’alam..

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang