Orientalisme : Sebuah Pengantar

Written by Daud Rasyid  
Tuesday, 06 November 2007

Islam sebagai knowledge (Tsaqofah) memang merupakan bidang yang terbuka luas bagi siapa saja yang ingin melakukan kajian terhadap dien ini. Konsekuensi sebagai obyek kajian akan membuka peluang untuk diberi interpretasi oleh si pengkaji, peneliti (researcher) secara benar atau salah. Apalagi yang melakukan kajian itu sejak dari awal sudah membuat prakonsepsi terhadap Islam, seperti sikap apriori, kebencian dan permusuhan. Maka kajian yang akan dihasilkannya akan sarat dengan distorsi, penyimpangan dan pemutarbalikan fakta.

Tetapi bukan tidak mungkin si peneliti berasal dari kalangan yang mencoba mengamati obyek kajiannya secara jernih dan netral, maka hasil kajiannya juga akan berbeda dengan jenis yang pertama. Kesimpulan-kesimpulannya akan bercorak obyektif dan netral, tanpa dipengaruhi oleh sikap-sikap subyektifitas dirinya sebagai pemeluk agama tertentu yang jauh berbeda dengan obyek kajian tadi.

Gambaran di atas persis terjadi dalam bidang kajian Islamic Studies. Banyak pihak yang mencurahkan perhatiannya terhadap kajian Islam dari kalangan Non Muslim dengan motivasi dan interest yang berbeda-beda. Bahkan perhatian itu tidak terbatas pada bidang yang general saja, akan tetapi sudah mengerucut ke bidang-bidang yang lebih spesifik dari Islamic Studies. Sederet nama dan karya tulis dapat kita temukan di bidang Al-Qur'an. Begitupun di bidang Hadits, juga di bidang Fiqh, Ushul Fiqh, Sastra Arab, sejarah dan Peradaban Islam, Politik Islam, Pemikiran Islam dan bidang-bidang lain, seperti budaya masyarakat Muslim tertentu dan organisasi-organisasi Islam.

Dalam kunjungan saya ke United Kingdom (Inggris) musim panas 2004, saya sempat berjumpa dengan beberapa orang orientalis. Di antaranya Prof Morris di University of Exeter. Sarjana Amerika ini adalah alumni Harvard University, USA, ahli dan mengajar Islamic Misticism (at-Tasawwuf al-Islamy), yang belakangan mendorongnya untuk masuk Islam, akan tetapi menganut faham Syi'ah. Hampir dua jam lamanya saya berdiskusi dengan professor yang baru saja pension ini.

Di University of Manchester saya sempat berjumpa dengan doktor muda, staf pengajar di Universitas tersebut, berasal dari Jerman, yang sedang menekuni seorang tokoh dan intelektual Muslim dari Syria, Syeikh Dr. Muhammad Ramadhan al-Buthy. Di mejanya dan ruang kerjanya dipenuhi oleh karya-karya al-Buthy. Pada awalnya saya sempat terkejut juga mengamati kejadian itu, bahwa perhatian mereka bukan hanya pada sosok ilmuwan masa lalu, tetapi juga pada tokoh yang masih hidup dan berkarya. Saya juga sempat memberi informasi kepada beliau yang belum sempat dia dengar tentang al-Buthy.

Jadi yang saya pahami, bahwa mereka benar-benar bekerja keras dalam menekuni bidang yang sudah dipilihnya, dimana sikap yang sama jarang kita temukan di negeri kita di kalangan peneliti dan dosen-dosen Perguruan Tinggi. Berapa banyak doctor keluaran IAIN di Indonesia, jika kita telusuri lebih dalam tentang kemampuan mereka dalam bahasa Arab, kita bisa geleng-geleng kepala. Fakta ini saya dapatkan di lapangan, ketika mengajar dan menguji para calon doctor (s3) dari tahun 1996-1999 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Jadi bukan dari cerita-cerita orang. Sayangnya ada sebagian mereka lebih bangga karena mampu menguasai bahasa Inggris daripada bahasa Arab, padahal bidang yang mereka kaji adalah Studi Islam.

 

Kaum Orientalis –sebutan popular untuk kalangan Barat yang melakukan kajian terhadap Islam dari berbagai aspeknya- mempunyai latar belakang ideologis sejak awal lahirnya hingga perkembangannya dewasa ini. Berawal dari semangat perang salib yang ingin mencari titik-titik lemah Islam untuk dapat ditaklukkan tanpa menggunakan senjata militer. Kajian orientalisme terus tumbuh dan berkembang dari zaman ke zaman dengan bekerjasama dengan kolonialisme barat yang menjajah dunia Islam hingga pertengahan abad ke duapuluh Masehi. Kaum Kolonial mendapat informasi lebih detail tentang Islam dan ummatnya dari kaum orientalis yang banyak meneliti tentang Islam itu. Informasi itu sangat bermanfaat bagi mereka dalam menghadapi perlawanan penduduk negeri jajahan. Ingat bagaimana penjajah Belanda mendapat informasi berharga dari orientalis Belanda Snouck Hurgronje.

Sejak era kemerdekaan Negara-negara Islam dari penjajahan barat, fungsi missionaries dari gerakan orientalisme tetap berjalan. Tulisan-tulisan yang mereka hasilkan penuh dengan penyesatan, pemutarbalikan dan penyelewengan. Tujuannya untuk membuat kaum Muslim menjadi ragu pada agamanya dan dalam kondisi seperti itu, masuklah kaum missionaries dengan sejumlah iming-iming dan janji-janji kepada mereka, agar mereka tergiur untuk meninggalkan Islam, atau paling tidak, kehilangan rasa percaya terhadap diennya sebagai satu-satunya dien yang benar.

Sementara kalangan Muslim yang terdidik yang sudah dipengaruhi pemikiran orientalis, ikut menyebarkan pemikiran yang membuahkan keraguan terhadap Islam kepada ummatnya sendiri melalui tulisan mereka di surat-surat kabar dan jurnal,  serta ceramah-ceramah mereka.

 

Kaum Muslimin di Indonesia saat ini mengahadapi cobaan keimanan yang sangat berat. Tawaran beasiswa ke Universitas-universitas Islam dan ormas-ormas Islam datang bertubi-tubi dari berbagai Negara barat sepertti AS, Inggris, Belanda, Kanada, Australia, dan lain-lain. Misalnya British Council untuk Inggris, AUSAID untuk ke Australia, DAAD untuk ke Jerman. Lain lagi beasiswa dari Ford Foundation dan lainnya. Sementara pertahanan diri dan benteng keimanan putra-putri kita tidak begitu kuat untuk menolaknya ataupun menyaringnya. Belakangan ini tawaran-tawaran itu tidak hanya untuk para dosen, tetapi juga aktifis ormas-ormas Islam dan santri di Pesantren. Artinya, orientalis tidak hanya mau mencuci otak para dosen Islamic Studies kita, tetapi juga merambah jauh hingga santri-santri di pesantren dan para aktifis ormas Islam di Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini, kedutaan Amerika Serikat bahkan memasok buku-buku tentang Islam ke pesantren-pesantren di Indonesia. Kira-kira apakah tujuan mereka, ingin membantu para pelajar untuk memahami Islam sebagaimana dipahami para Ulama salaf dahulu, atau ada agenda tersembunyi di balik itu?

Sekarang di Australia, sudah tersedia orientalis yang menguasai berbagai masalah keislaman di Indonesia. Ada ahli masalah NU (Nahdhatul Ulama), ada pakar tentang Muhammadiyah, bahkan ada pakar tentang PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Mereka menjadi pakar di bidang ormas dan parpol Islam itu karena mendapatkan bahan mahal yang disajikan oleh para mahasiswa S2 dan S3 yang mereka bimbing. Di samping informasi yang begitu terbuka di era ini, sehingga memungkinkan siapa saja dapat mencari info tentang apa saja yang diinginkannya. Jadi kita membuka isi perut kita dan menyerahkannya kepada mereka, dengan imbalan "kertas" yang bertuliskan pemberian gelar PhD, plus beasiswa bulanan yang sekedar cukup-cukup makan. Hasbunallahu Wani'mal Wakil.

Informasi mahal itu tentu digunakan tidak sebatas bahan bacaan di perpustakaan Universitas. Tetapi itu juga menjadi informasi berharga bagi intelijen dan kaum missionaries untuk memudahkan gerak langkah mereka menguasai umat Islam. Apakah ini disadari oleh teman-teman kita yang belajar di Negara-negara barat itu?

Dalam hemat saya, ada sedikit orang yang sadar, namun yang terbanyak justru terlena dan sama sekali tak terpikir dengan bahaya yang mengancam itu. Apalagi mereka yang sudah mendapat posisi mengajar di Universitas-universitas Barat seperti AS, Australia dsb. Adapun yang masih sadar, mereka merasa tidak ada alternative lain, sehingga menganggapnya sebagai kondisi darurat. Tapi benarkah itu sebuah darurat?

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang