Khilafah, from an opinion of Nadirsyah Hosen


http://nhosen.blogspot.com

1. Wajibkah mendirikan khilafah?

Tidak wajib! Yang wajib itu adalah memiliki pemimpin, yang dahulu
disebut khalifah, kini bebas saja mau disebut ketua RT, kepala suku,
presiden, perdana menteri, etc. Ada pemelintiran seakan-akan para
ulama mewajibkan mendirikan khilafah, padahal arti kata "khilafah"
dalam teks klasik tidak otomatis bermakna sistem pemerintahan Islam
(SPI) yang dipercayai oleh para pejuang pro-khilafah.

Masalah kepemimpinan ini simple saja: "Nabi mengatakan kalau kita
pergi bertiga, maka salah satunya harus ditunjuk jadi pemimpin".
Tidak ada nash yang qat'i di al-Qur'an dan Hadis yang mewajibkan
mendirikan SPI (baca: khilafah ataupun negara Islam). Yang
disebut "khilafah" sebagai SPI itu sebenarnya hanyalah kepemimpinan
yang penuh dengan keragaman dinamika dan format. Tidak ada format
kepemimpinan yang baku.

2. Bukankah ada Hadis yang mengatakan khilafah itu akan berdiri lagi
di akhir zaman?

Para pejuang berdirinya khilafah percaya bahwa Nabi telah menjanjikan
akan datangnya kembali khilafah di akhir jaman nanti. Mereka
menyebutnya dengan khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Ini dalil
pegangan mereka:

"Adalah masa Kenabian itu ada di tengah tengah kamu sekalian, adanya
atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia
menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang
menempuh jejak kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah), adanya
atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya)
apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya.

Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan 'Adldlon),
adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia
menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang
menyombong (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian
Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya.

Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian
(Khilafah 'ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam."
(Musnad Ahmad:IV/273) .

Cukup dengan berpegang pada dalil di atas, para pejuang khilafah
menolak semua argumentasi rasional mengenai absurd-nya sistem
khilafah. Mereka menganggap kedatangan kembali sistem khilafah adalah
sebuah keniscayaan. Ada baiknya kita bahas saja dalil di atas.

Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam
Bukhari, "fihi nazhar". Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah
menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb. Di samping
itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis'ah) hanya Musnad Ahmad yang
meriwayatkan hadis tsb. Sehingga "kelemahan" sanad hadis tsb tidak
bisa ditolong.

Rupanya Habib bin salim itu memang cukup "bermasalah" . Dia membaca
hadis tsb di depan khalifah 'umar bin abdul aziz utk menjustifikasi
bhw kekhilafahan 'umar bin abdul azis merupakan khilafah 'ala
minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bhw Habib mencari muka di depan
khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan:

"setelah kenabian akan ada khilafah 'ala minhajin nubuwwah, lalu akan
muncul para raja."

Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh thabrani (dan dari penelaahan
saya ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis thabrani ini muncul
pada masa mu'awiyah atau yazid sebagai akibat pertentangan
politik saat itu.

"Khilafah 'ala minhajin nubuwwah" di teks thabrani ini me-refer ke
khulafa al-rasyidin, lalu "raja" me-refer ke mu'awiyah dkk. Tapi tiba-
tiba muncul umar bin abdul azis --dari dinasti umayyah—yang baik dan
adil. Apakah beliau termasuk "raja" yg ngawur dlm hadis tsb?

Maka muncullah Habib bin Salim yg bicara di depan khalifah Umar bin
Abdul Azis bhw hadis yg beredar selama ini tidak lengkap. Menurut
versi Habib, setelah periode para raja, akan muncul lagi
khilafah 'ala minhajin nubuwwah--> dan ini merefer ke umar bin abdul
azis. Jadi nuansa politik hadis ini sangat kuat.

Repotnya, term khilafah 'ala minhajin nubuwwah yg dimaksud oleh Habib
(yaitu Umar bin abdul azis) sekarang dipahami oleh Hizbut Tahrir (dan
kelompok sejenis) sebagai jaminan akan datangnya khilafah lagi di
kemudian hari. Mereka pasti repot menempatkan umar bin abdul azis
dalam urutan di atas tadi: kenabian, khilafah 'ala mihajin nubuwwah
periode pertama (yaitu khulafa al-rasyidin) , lalu para raja, dan
khilafah 'ala minhajin nubuwwah lagi. Kalau khilafah 'ala minhajin
nubuwwah periode yg kedua baru muncul di akhir jaman maka umar bin
abdul azis termasuk golongan para raja yang ngawur :-)

Saya kira kita memang haus bersikap kritis terhadap hadis-hadis
berbau politik. Sayangnya sikap kritis ini yang sukar ditumbuhkan di
kalangan para pejuang khilafah.

3. Bukankah khilafah adalah solusi dari masalah ummat? Selama ummat
islam mengadopsi sistem kafir (demokrasi) maka ummat Islam tidak akan
pernah jaya?

Di sinilah letak perbedaannya: sistem khilafah itu dianggap sempurna,
sedangkan sistem lainnya (demokrasi, kapitalis, sosialis, dll) adalah
buatan manusia. Kalau kita menemukan contoh "jelek"
dalam sejarah Islam, maka kita buru-buru bilang, "yang salah itu
manusianya, bukan sistem Islamnya!". Tapi kalau kita melihat
contoh "jelek" dalam sistem lain, kita cenderung untuk
bilang, "demokrasi hanya menghasilkan kekacauan!". Jadi, yang
disalahkan adalah demokrasinya. Ini namanya kita sudah menerapkan
standard ganda.

Biar adil, marilah kita melihat bahwa yang disebut sistem khilafah
itu sebenarnya merupakan sistem yang juga tidak sempurna, karena ia
merupakan produk sejarah, dimana beraneka ragam pemikiran dan praktek
telah berlangsung. Sayangnya, karena dianggap sudah "sempurna" maka
sistem khilafah itu seolah-olah tidak bisa direformasi. Padahal
banyak sekali yang harus direformasi.

Contoh: dalam sistem khilafah pemimpin itu tidak dibatasi periode
jabatannya (tenure). Asalkan dia tidak melanggar syariah, dia bisa
berkuasa seumur hidup. Dalam sistem demokrasi, hal ini tidak bisa
diterima. Meskipun seorang pemimpin tidak punya cacat moral, tapi
kekuasaannya dibatasi sampai periode tertentu.

Saya maklum kenapa sistem khilafah tidak membatasi jabatan khalifah.
Soalnya pada tahun 1924 khilafah sudah bubar, padahal pada tahun 1933
(the 22nd Amendment) Amerika baru mulai membatasi jabatan presiden
selama dua periode saja. Sayangnya, buku ttg khilafah yang ditulis
setelah tahun 1933 masih saja tidak membatasi periode jabatan
khalifah. Itulah sebabnya kita menyaksikan bahwa dalam sepanjang
sejarah Islam, khalifah itu naik-turun karena wafat, di
bunuh, atau dikudeta. Tidak ada khalifah yg turun karena masa
jabatannya sudah habis.

Contoh lainnya, sistem khilafah selalu mengulang-ulang mengenai
konsep baiat (al-bay`ah) dan syura. Tapi sayang berhenti saja sampai
di situ [soalnya sudah dianggap sempurna sih :-)]. Dalam tradisi
barat, electoral systems itu diperdebatkan dan terus "disempurnakan"
dalam berbagai bentuknya. Dari mulai sistem proporsional, distrik
sampai gabungan keduanya. Begitu juga dengan sistem parlemen. Dari
mulai unicameral sampai bicameral system dibahas habis-habisan, dan
perdebatan terus berlangsung untuk menentukan sistem mana yang lebih
bisa merepresentasikan suara rakyat dan lebih bisa menjamin tegaknya
mekanisme check and balance.

Tapi kalau kita mau "melihat" ke teori barat, nanti kita dituduh
terpengaruh orientalis atau terjebak pada sistem kafir. Akhirnya kita
terus menerus memelihara teori yg sudah ketinggalan kereta.

4. Kalau khilafah berdiri, maka ummat islam akan bersatu. Lantas
kenapa harus ditolak? Bukankah kita menginginkan persatuan ummat?

Sejumlah dalil mengenai persatuan ummat Islam dan kaitannya dengan
khilafah banyak dikutip oleh
"pejuang khilafah" belakangan ini:

Rasulullah SAW bersabda:

"Jika dibai'at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari
keduanya." (HR. Muslim)

Bagaimana "rekaman" sejarah soal ini? Ini daftar tahun berkuasanya
khilafah yang sempat saya catat
(sila dikoreksi kalau keliru):

1. Ummayyah (661-750)
2. Abbasiyah (750-1258)
3. Umayyah II (780-1031)
3. Buyids (945-1055)
4. Fatimiyah (909-1171)
5. Saljuk (1055-1194)
6. Ayyubid (1169-1260)
7. Mamluks (1250-1517)
8. Ottoman (1280-1922)
9. Safavid (1501-1722)
10. Mughal (1526-1857)

Dari daftar di atas kita ketahui bahwa selepas masa Khulafa al-
Rasyidin, ternyata hanya pada masa Umayyah dan awal masa Abbasiyah
saja terdapat satu khalifah untuk semua ummat Islam. Sejak tahun 909
(dimana Abbasiyah masih berkuasa) telah berdiri juga kepemimpinan
ummat di Egypt oleh Fatimiyyah (bahkan pada periode Fatimiyah inilah
Universitas al-Azhar Cairo dibangun).

Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan punya
kekhalifahan sendiri (Umayyah II). Di Andalusia inilah sejarah Islam
dicatat dengan tinta emas, namun pada saat yang sama terjadi
kepemimpinan ganda di tubuh ummat, toh tetap dianggap sukses juga :-)

Pada masa Fatimiyyah di Mesir (909-1171), juga berdiri kekuasaan
lainnya: Buyids di Iran-Iraq (945-1055). Buyids hilang, lalu muncul
Saljuk (1055-1194), sementara Fatimiyah masih berkuasa di Mesir
sampai 1171. Ayubid meneruskan Fatimiyyah dengan kekuasaan meliputi
Mesir dan Syria (1169-1260). Dan seterusnya.. .silahkan diteruskan
sendiri.

Jadi, sejarah menunjukkan bahwa khilafah itu tidak satu; ternyata
bisa ada dua atau tiga khalifah pada saat yang bersamaan. Siapa yang
dipenggal lehernya dan siapa yang memenggal? Mana yang sah dan mana
yang harus dibunuh?

Kita harus kritis membaca Hadis-Hadis "politik" di atas. Saya menduga
kuat Hadis semacam itu baru dimunculkan ketika terjadi pertentangan
di kalangan ummat islam sepeninggal rasul. Alih-alih bermusyawarah,
spt yang diperintahkan Qur'an, para elit Islam tempo doeloe malah
melegitimasi pertempuran berdarah dengan Hadis-Hadis semacam itu.

Sejumlah Ulama yg datang belakangan kemudian berusaha "mentakwil"
makna Hadis di atas. Mereka menyadari bahwa situasi sudah berubah,
dan Islam sudah meluas sampai ke pelosok kampung. Pernyataan Nabi di
atas tidak bisa dilepaskan dari konteks traditional- state di
Madinah, dimana resources, jumlah penduduk, dan luas wilayah masih
sangat terbatas. Cocok-kah Hadis itu diterapkan pada saat ini?

Berpegang teguh pada makna lahiriah Hadis di atas akan membuat darah
tumpah dimana-mana. Contoh saja, karena tidak ada aturan yg jelas,
maka para ulama berdebat, spt direkam dengan baik oleh al-Mawardi, M.
Abu faris dan Wahbah al-Zuhayli: berapa orang yg dibutuhkan utk
membai'at seorang khalifah? Ada yg bilang lima [karena Abu Bakr
dipilih oleh 5 orang], tiga [dianalogikan dengan aqad nikah dimana
ada 1 wali dan 2 saksi], bahkan satu saja cukup [Ali diba'iat oleh
Abbas saja]. Jadi, cukup 5 orang saja utk membai'at khalifah. Aturan
itu cocok untuk kondisi Madinah jaman dulu, namun
terhitung "menggelikan" untuk jaman sekarang.

Disamping itu, urusan "memenggal kepala" itu tidak lagi cocok dengan
situasi sekarang. Contoh: ribut-ribut jumlah suara antara AlGore
dengan Bush 4 th lalu diselesaikan bukan dengan putusnya leher salah
satu di antara mereka. Begitu juga Gus Dur tidak bisa meminta kepala
Mega dipenggal ketika Mega "merebut" kekeuasaannya tempo hari.
Mekanisme konstitusi yg menyelesaikan semua itu. Nah, mekanisme itu
yang di jaman dulu kagak ada. Apa kita mau balik ke jaman itu lagi?

Akhirnya, dengan adanya catatan sejarah yg menunjukkan bahwa terdapat
beberapa khalifah dalam masa yang sama, di wilayah yang berbeda,
Hadis politik di atas sudah tidak cocok lagi diterapkan.

5. Jawaban anda sebelumnya seolah-olah hendak mengatakan bahwa
berdirinya khilafah justru akan menimbulkan pertumpahan darah sesama
ummat islam, bukan menghadirkan persatuan spt yang didengungkan para
pejuang khilafah saat ini. Betulkah demikian? Benarkah sejarah
khilafah menunjukkan pertumpahan darah tsb?

Ketika Bani Abbasiyah merebut khilafah, darah tertumpah di mana-mana.
Ini "rekaman" kejadiannya:
Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani
Umayyah, dan mereka "memainkan" pedangnya di kalangan penduduk ,
sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami'
milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama
tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu'awiyah serta
Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul
Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan
menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa
hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya. Mereka juga
membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah, kemudian
menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya
masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil
makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang
ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-
lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk
makanan anjing-anjing. Demikian pula yang mereka lakukan terhadap
Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.

Kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan as-Saffah yang
segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya.
Yahya kemudian mengumumkan di kalangan rakyat: "Barangsiapa memasuki
masjid Jami', maka ia dijamin keamananya." Beribu-ribu orang secara
berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-
pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-
orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu
orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya
mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh
di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita
dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh
darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan
penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap
anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau
melalaikan seorang wanita.

...
...
Seorang ahli fiqh terkenal di Khurasn bernama Ibrahim bin Maimum
percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji "akan menegakkan
hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah". Atas dasar itu
ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka,
dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu
Muslim al-Khurasani. Namun ketika ia, setelah berhasilnya gerakan
kaum Abbasiyin itu, menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-
hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah
dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim.

Cerita di atas bukan karangan orientalis tapi bisa dibaca di Ibn
Atsir, jilid 4, h. 333-340, al-Bidayah, jilid 10, h. 345; Ibn
Khaldun, jilid 3, h. 132-133; al-Bidayah, jilid 10, h. 68; al-
Thabari, jilid 6, h. 107-109. Buku-buku ini yang menjadi rujukan Abul
A'la al-Maududi ketika menceritakan ulang kisah di atas dalam al-
Khilafah wa al-Mulk.

Note:
Yang jelas sejarah "buruk" kekhilafahan bukan hanya milik khalifah
Abbasiyah, tapi juga terjadi di masa Umayyah (sebelum Abbasiyah) dan
sesudah Abbasiyah. Misalnya, menurut al-Maududi, dalam periode
khilafah pasca khulafatur rasyidin telah terjadi: perubahan aturan
pengangkatan khalifah spt yang dipraktekkan sebelumnya, perubahan
cara hidup para khalifah, perubahan kondisi baitul mal, hilangnya
kemerdekaan mengeluarkan pendapat, hilangnya kebebasan peradilan,
berakhirnya pemerintah berdasarkan syura, munculnya kefanatikan
kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum.

Sejarah itu seperti cermin: ada yang baik dan ada yang buruk. Kita
harus menyikapinya secara proporsional; jangan "buruk muka, cermin
dibelah. Sengaja saya tampilkan sisi buruknya agar kita tidak hidup
dalam angan-angan atau nostalgia masa lalu saja, tanpa mengetahui
sisi buruk masa lalu itu.

Ada kesan bahwa dengan menjadikan "khilafah is the (only) solution"
maka kita melupakan bahwa sebenarnya banyak kisah kelam (sebagaimana
juga banyak kisah "keemasan") dalam masa kekhilafahan itu. Jadi,
mendirikan kembali khilafah tidak berarti semua problem akan hilang
dan lenyap; mungkin kehidupan tanpa problem itu hanya ada di surga
saja :-)

6. Ada sejumlah kewajiban yang pelaksanaannya tidak terletak di
tangan individu rakyat. Di antaranya adalah pelaksanaan hudûd, jihad
fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, mengumpulkan zakat dan
mendistribusikannya , dan seterusnya. Sejumlah kewajiban syariat ini
bergantung pada pengangkatan Khalifah. Bukankah di sinilah letak
urgensinya kita mendirikan khilafah?

Cara berpikir anda itu masih menganggap khilafah itu sama dengan
sebuah sistem pemerintahan Islam [SPI}, padahal hadis-hadis yang
menyinggung soal khilafah itu hanya bicara mengenai pentingnya
mengangkat pemimpin (dan sekarang semua negara punya pemimpin kan?).

Kalau pertanyaannya saya tulis ulang: bukankah sebagian pelaksanaan
syariat islam membutuhkan campur tangan pemimpin? jawabannya
benar,dan itulah yang sudah dilakukan di sejumlah negara: misalnya
memungut zakat, memberangkatkan jamaah pergi haji, membuat peradilan
Islam (mahkamah syariah), menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal, dst.
Jadi, syariat Islam sudah bisa berjalan saat ini tanpa harus ada
khilafah.

Lha wong kita sholat, puasa, sekolah, makan, bekerja, menikah, dst
adalah bagian dari syariat Islam dan kita bisa menjalaninya meski
tidak ada khilafah dalam arti SPI. Kita menjalaninya karena pemimpin
kita membebaskan kita melakukan itu semua. Kita tidak dilarang
menjalankannya.

Di saudi Arabia, tanpa ada khilafah sekalipun hukuman potongan tangan
(hudud) sudah diberlakukan. Bukan berarti saya setuju dg penerapan
hudud ini. Saya hanya ingin menunjukkan tanpa khilafah (baca: SPI)
maka syariat Islam juga bisa diterapkan.

7. Apa lagi letak keberatan anda thd ide mendirikan khilafah?

Kalau khilafah berdiri maka dunia ini tidak akan damai. Perang terus
menerus. Para pejuang khilafah menerima saja mentah-mentah Hadis yang
mengungkapkan 3 langkah dlm berurusan dengan non-muslim:

1. ajak mereka masuk Islam
2. kalau mereka enggan, suruh mereka bayar jizyah
3. kalau enggan masuk Islam dan enggan bayar jizyah, maka perangilah
mereka.

Kalau Indonesia sekarang berubah menjadi khilafah, maka Singapore,
Thailand, Philipine dan Australia akan diajak masuk Islam, atau bayar
jizyah, atau diperangi. Masya Allah!

Simak cerita Dr. Jeffrey Lang di bawah ini (yang diceritakan ulang
oleh Dr Jalaluddin Rakhmat):

Kira-kira dua bulan setelah saya masuk Islam, mahasiswa-mahasiswa
Islam di universitas tempat saya mengajar mulai mengadakan pengajian
setiap Jumaat malam di masjid universitas. Ceramah kedua disampaikan
oleh Hisyam, seorang mahasiswa kedokteran yang sangat cerdas yang
telah belajar di Amerika selama hampir sepuluh tahun. Saya sangat
menyukai dan menghormati Hisyam. Dia berbadan agak bulat dan periang,
dan mukanya tampak sangat ramah. Dia juga mahasiswa Islam yang sangat
bersemangat.

Malam itu Hisyam berbicara tentang tugas dan tanggungjawab seorang
Muslim. Dia berbicara panjang lebar tentang ibadah dan kewajiban
etika orang yang beriman. Ceramahnya sangat menyentuh dan telah
berjalan kira-kira satu jam ketika dia menutupnya dngan ucapan yang
tidakdisangka-sangka berikut ini.

"Akhirnya, kita tidak dapat lupa - dan ini benar-benar penting –
bahwa sebagai orang Muslim, kita wajib untuk merindukan, dan ketika
mungkin berpartisipasi di dalamnya, yakni menggulingkan pemerintah
yang tidak Islami - di mana pun di dunia ini - dan menggantinya
denganpemerintahan Islam."

"Hisyam!" Saya mencela. "Apakah anda bermaksud mengatakan bahwa warga
negara Muslim Amerika harus melibatkan diri dalam penghancuran
pemerintah Amerika? Sehingga mereka harus menjadi pasukan kelima di
Amerika; suatu gerakan revolusioner bawah tanah yang berusahauntuk
menggulingkan pemerintah? Apakah yang kamu maksudkan adalah jika
seorang Amerika masuk Islam, dia harus melibatkan diri dalam
pengkhianatan politik?!"

Saya berfikir begitu dengan maksud memberikan Hisyam suatu skenario
yang sangat ekstrem, sehingga dapat memaksanya untuk melunakkan atau
merubah pernyataannya. Dia menundukkan pandangannya ke lantai
sementara dia merenungi pertanyaan saya sebentar. Kemudian dia
menatap saya dengan suatu ekspresi yang mengingatkan saya terhadap
seorang doktor yang hendak menyampaikan khabar kepada pesakitnya
bahwa tumornya adalah tumor berbahaya. "Ya," dia berkata, "Ya, itu
benar."

Dr. Jeffrey Lang, muslim Amerika yang juga profesor matematik di
Universitas Kansas, menceritakan pengalaman di atas untuk menunjukkan
betapa "absurdnya" gagasan mendirikan negara Islam bagi orang Islam
di Amerika. "Bagi mereka, ide bahwa kaum Muslim – menurut agama
mereka -berkewajiban untuk menyerang negara-negara yang tidak agresif
seperti Swiss, Brzail, Ekuador atau jika mereka tidak mau tunduk
kepada Islam sangat tidak masuk akal," kata Dr. Lang selanjutnya.
Anehnya, di mana saja Dr. Lang menemukan wacana negara Islam ini
dikemukakan, baik di meja diskusi ilmiah maupun di medan perang.

Sekian kutipan dari Dr Jeffrey Lang.

Kalau kita sekarang nggak suka dengan doktrin pre-emptive strikenya
Bush, maka sebenarnya kalau sekarang khilafah berdiri, maka khilafah
itu juga memiliki doktrin yang sama. Sungguh mengerikan.

Hadis di atas telah diplintir maknanya sedemikian rupa sehingga
khilafah akan menjadi monster yang memaksa negara sekitarnya utk
memeluk Islam dg cara diperangi. Inilah salah satu keberatan saya dg
ide mendirikan kembali khilafah.

8. Saya heran dengan anda. CIA saja sudah bisa memprediksi bahwa
khilafah akan berdiri pada tahun 2020. Kalau musuh-musuh islam saja
percaya dengan hal ini, bagaimana mungkin anda sebagai Muslim malah
tidak mendukung berdirinya khilafah?

Biar nggak Ge-Er, kawan-kawan yang pro-khilafah coba baca baik-baik
laporan lengkapnya di sini: www.foia.cia. gov/2020/ 2020.pdf

Intinya, CIA membuat 4 skenario FIKTIF sbg gambaran situasi tahun
2020. Khilafah itu hanya satu dari empat skenario fiktif tsb. Jadi
jangan diplintir seolah-olah CIA mengatakan khilafah akan berdiri
tahun 2020 :-)

Possible Futures

In this era of great flux, we see several ways in which major global
changes could take shape in the next 15 years, from seriously
challenging the nation-state system to establishing a more robust and
inclusive globalization. In the body of this paper we develop these
concepts in four fictional scenarios which were extrapolated from the
key trends we discuss in this report. These scenarios are not meant
as actual forecasts, but they describe possible worlds upon whose
threshold we may be entering, depending on how trends interweave and
play out:

Davos World " illustrating "how robust economic growth, led by China
and India, … could reshape the globalization process";

Pax Americana " "how US predominance may survive the radical changes
to the global political landscape and serve to fashion a new and
inclusive global order";

A New Caliphate" "how a global movement fueled by radical religious
identity politics could constitute a challenge to Western norms and
values as the foundation of the global system"; and

Cycle of Fear" proliferation of weaponry and terrorism "to the point
that large-scale intrusive security measures are taken to prevent
outbreaks of deadly attacks, possibly introducing an Orwellian world."

(The quotes are from the report's executive summary.)

Of course, these scenarios illustrate just a few of the possible
futures that may develop over the next 15 years, but the wide range
of possibilities we can imagine suggests that this period will be
characterized by increased flux, particularly in contrast to the
relative stasis of the Cold War era. The scenarios are not mutually
exclusive: we may see two or three of these scenarios unfold in some
combination or a wide range of other scenarios.

Yang menarik, laporan itu juga menyebut-nyebut soal Indonesia lho.
Ini prediksi mereka:

"The economies of other developing countries, such as Brazil, could
surpass all but the largest European countries by 2020; Indonesia's
economy could also approach the economies of individual European
countries by 2020."

Lalu apa yang akan terjadi dengan Amerika (menurut laporan tsb):

"Although the challenges ahead will be daunting, the United States
will retain enormous advantages, playing a pivotal role across the
broad range of issues --economic, technological, political,and
military-- that no other state will match by 2020."

Jadi, dari skenario fiktif yg mereka susun, Amerika tetap saja jaya.
Kerjaan CIA kan ya memang begitu...kok bisa-bisanya kawan-kawan
pejuang pro-khilafah percaya sama CIA. Bukankah prestasi terbesar CIA
adalah saat mengatakan di Iraq ada weapon of mass destruction (WMD)?
Kita tahu ternyata WMD memang fiktif belaka. Yah jangan-jangan
khilafah juga bakalan bernasib sama: fiktif.

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang