Lorong Gelap Dunia Wilders

Oleh : Haedar Nashir

Geert Wilders bukan hanya pongah dan naif. Politikus ultrakanan
Belanda itu sungguh telah menyemburkan atmosfir kebencian terhadap 1,3
miliar umat Islam sedunia. Ini terkait film Fitna yang diproduksinya
telah memfitnah Alquran sebagai kitab fasis sebanding Mein Kampt-nya
Hitler, seraya menggambarkan sosok Nabi Muhammad SAW sebagai barbar.

Banyak pihak yang juga dibuat tidak nyaman dengan karya provokatif
Wilders yang bombastis itu. Siapa yang sebenarnya fasis dan barbar?
Boleh jadi, Wilders-lah sang fasis dan barbar itu. Karena, sedemikian
vulgar mengekspresikan kebencian terhadap Islam, nyaris tanpa keadaban.

Bagaimana mungkin di sebuah zaman modern ketika nilai-nilai
penghormatan terhadap keyakinan siapa pun sangat dijunjung tinggi,
malah lahir pikiran naif penuh kebencian sebagaimana diperagakan
Wilders? Dengan jaminan kebebasan yang liar, tidak mengherankan jika
pemerintah di negeri-negeri yang mengaku berperadaban modern itu
selalu berkelit ketika dituntut untuk bertindak tegas. Sikap
Pemerintah Belanda adalah salah satu contohnya.

Negeri Kincir Angin itu mengkritik dan tidak setuju dengan perbuatan
Wilders, tetapi tidak dapat menindak karena dijamin oleh
undang-undang. Demi dan atas nama kebebasan setiap pernyataan dan
ekspresi warga negara diperbolehkan dan dijamin konstitusi.

Itulah hak asasi manusia (HAM) yang tidak boleh direnggut siapa pun,
termasuk oleh negara. Itulah alam pikiran liberalisme Barat yang naif,
yang telah mendarah daging menjadi world view atau pandangan hidup
yang kokoh. Suatu paham yang mendewakan kebebasan absolut tanpa batas.

Namun, liberalisme absolut itu dalam praktiknya memiliki banyak ironi.
Menjamin orang untuk menyatakan pendapat dan berekspresi, tetapi tidak
pernah mau menjamin, apalagi menindak kesewenang-wenangan atas nama
kebebasan yang sesungguhnya merugikan pihak lain. Jika penghinaan,
pelecehan, dan penistaan terhadap agama apa pun dan umat beragama mana
pun dibiarkan atas nama kebebasan, lantas di mana perlindungan
terhadap kebebasan orang lain. Jika umat Islam, misalnya, ingin agama
dan kegiatan keagamaannya dijamin hak-haknya oleh prinsip kebebasan
tanpa cercaan, hinaan, dan penistaan, di mana letak perlindungan oleh
prinsip liberalisme?

Jadi dogma
Liberalisme naif lantas menjadi dogma, bahkan doktrin yang membiarkan
anarkisme. John Stuart Mill lewat karya monumentalnya On Liberty
memang mengakui kebebasan yang bertanggung jawab. Tapi, filsuf
positivisme ini pun tak menghendaki negara membatasi kebebasan
warganya, lebih-lebih merenggut kebahagiaan individu.

Orang lantas berhak sewenang-wenang atas nama kebebasan, sedangkan
negara tak mampu menghukumnya karena akan bertentangan dengan asas
kebebasan itu sendiri. Di sinilah blundernya liberalisme naif, hingga
terseret ke lorong gelap dan buntu.

Hingga di sini, liberalisme juga menjelma menjadi dogma baru yang tak
kalah doktrinalnya ketimbang agama zaman pertengahan di negeri Barat.
Paham ini sangat sensitif terhadap pembelengguan, tetapi membiarkan
orang menista.

Paham ini sangat alergi terhadap setiap pikiran dan keyakinan yang
absolut, tetapi menjadikan dirinya memiliki hukum besi absolutisme.
Paham yang naif ini sangat menjunjung tinggi kenisbian, tetapi
memfosilkan dirinya menjadi sebuah sistem yang serba pasti dan tidak
mau menjadi nisbi.

Anehnya, kaum liberalis naif sering kali sensitif terhadap dogma dan
doktrin agama, seraya melupakan dirinya telah memfosil menjadi
super-dogma. Liberalisme naif takut terhadap dogma dan doktrin agama
yang bersifat absolut, tetapi dirinya menjelma menjadi dogma dan
doktrin baru yang tidak kalah absolutnya.

Anti dan takut terhadap agama, tetapi menjadikan dirinya melampaui
dogma agama. Takut dan anti terhadap Tuhan yang dibawa oleh misi
setiap agama, tetapi menjadikan liberalisme sebagai paham absolut yang
menjelma menjadi tuhan buatan mereka sendiri. Berontak terhadap setiap
bentuk kebenaran absolut, tetapi menjadikan dirinya sangkar besi
kebenaran absolut yang sangat pongah.

Standar ganda
Kenyinyiran liberalisme naif juga terjadi dalam menyikapi kebebasan.
Gemar tebang pilih. Ketika kaum muslimah di negeri-negeri Eropa,
seperti di Inggris dan Prancis, ingin mengekspresikan kebebasan
beragama dengan memakai jilbab, justru dilarang dan tidak memperoleh
ruang publik.

Padahal, kaum muslim itu tidak memaksakan agamanya untuk orang lain,
sebatas untuk dirinya sesuai ajaran agama yang semestinya diberi hak
hidup, sebagaimana layaknya di negeri-negeri liberal dan berperadaban
mulia. Kebebasan tidak berlaku untuk semua orang. Para tokoh Islam
menunjuk sebagai standar ganda liberalisme Barat. Kebebasan hanya
berlaku bagi kaumnya, tidak berlaku bagi yang lain.

Kita tidak tahu persis kapan lorong gelap liberalisme naif itu akan
berakhir. Ketika liberalisme seharusnya memberi kebebasan pada setiap
individu, dalam praktiknya banyak individu yang dimatikan haknya. Mana
kala liberalisme seharusnya menjunjung tinggi kebenaran yang terentang
panjang dan serba melampaui, dikerangkengnya hanya berlaku untuk alam
pikiran produk peradabannya sendiri, seolah memelihara benteng
chauvinisme sejarah dan budaya lapuk. Di saat penghormatan akan
pluralisme beragama dan menganut ajaran agama seharusnya dijunjung
tinggi dalam dunia yang menganut paham kebebasan, justru yang terjadi
membiarkan pelecehan, penistaan, dan fitnah terhadap mereka yang ingin
beragama sesuai pilihannya.

Liberalisme naif (radikal) bahkan melahirkan nihilisme. Ludwig
Feuerbach menihilkan tuhan sekadar konstruksi manusia yang bingung dan
ilusionis. Sedangkan, Friedrich Nietzsche dengan pongahnya
meneriakkan, "tuhan telah mati."

Jangan-jangan, para pengusung liberalisme naif itu juga memproduksi
nihilisme baru atas nama kebebasan yang dilindungi negara. Seraya
menuhankan kebebasan yang diyakininya, mereka juga menistakan
kebebasan umat beragama. Persis ketika kaum Jahiliyah mereaksi dan
menolak risalah Nabi Muhammad yang membawa agama monoteisme (Islam)
sebagaimana Ibrahim. Karena, mereka harus melindungi 'arbab' atau
tuhan-tuhan bikinan mereka sendiri, yakni Latta dan Uzza.

Alternatif
Karena itu, liberalisme naif ala Wilders harus dijawab dengan tegas,
tetapi cerdas. Sikap fasis dan barbar tak perlu direspon dengan
tindakan serupa. Jangan mengikuti arus trauma Barat ke hulu dan hilir
yang sebaliknya. Bahwa liberalisme naif yang membawa gelombang
absolutisme yang mendewakan humanisme antroposentrisme sekuler dijawab
dengan antitesis teosentrisme Islam yang serba absolut dan monolitik,
baik di dunia pemikiran keagamaan hingga ke tawaran-tawaran ideologi
politik Islam yang sama bercorak teosentris dan monolitik. Kebencian
dilawan amarah. Liberalisme naif dijawab dengan agama monolitik.
Nanti, Islam menjadi sama kerdil dan ekstremnya.

Islam di abad modern dan sarat pertaruhan yang keras sekarang ini
tidak boleh kehilangan jangkar keseimbangannya, yang terbukti mampu
menghadirkan peradaban alternatif sejak Nabi Muhammad hingga era
kejayaan Islam di abad yang lampau. Berikan jawaban alternatif dengan
format Islam dan peradaban umat Islam yang puncak menaranya lurus
menjulang ke langit dalam ikatan hablu min Allah (teosentrisme tauhid)
kokoh, sementara akarnya menancap ke bumi yang nyata dalam rajutan
hablu min al-nas (humanisme antroposentrisme profetik) yang
mencerahkan dan menyebarkan rahmatan lil-'alamin.

Ghirah keberagamaan boleh membara, tetapi orang Islam jangan sampai
mengikuti lorong gelap dunia Wilders dan kaum liberalis naif di negeri
Barat, dengan lari ke jurusan lain yang sama gelapnya dan kemudian
memfosil.

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Para Ayah, Di Manakah Kalian?