Dulu, Dulu Sekali, Saya Pernah Mengalaminya

Tulisan ini mengingatkanku saat berjuang seorang diri di Bandung, di suatu hari yang terik, berhari-hari hanya mengandalkan sarimi satu-dua bungkus, mencari receh yang mungkin tercecer di jalanan dan tak sebulir nasi pun masuk ke dalam lambung. Dan ketika akhirnya sebulir nasi itu masuk ke mulut, tak terkira rasanya. Itulah saat yang tak pernah terlupakan dari episode hidupku,perjuangan penuh lika-liku dan tantangan kesabaran. Allahu akbar wa lillahil hamd...
=====================================================================================================================================

Oleh Septina Ferniati, ibu dua anak, tinggal di Bandung.

dead of hunger

DENGAN si sulung Ilalang saya baru saja habiskan waktu berdua. Setelah dia tuntaskan PR-nya, dan saya sudah sangat capek menekuni terjemahan, kami berinisiatif cari makan. Bukan karena kami kebanyakan uang. Namun karena di rumah saya tidak masak banyak. Tahu tumis bawang jahe sudah habis sejak sarapan, siang pun diisi dengan acara makan spageti pemberian seorang teman istimewa. Jadi sore ke malam memang tidak ada apa-apa. Maka harus ke luar.

Meski gerimis, kami semangat. Saya susui dulu si bungsu yang baru enam belas bulan usianya, sampai tertidur. Ayahnya di rumah, tidur bareng dia. Lalu kami ke luar, agak jauh dari rumah, karena saya dan Ilalang ingin ke Surabi Imut.

Kami memesan tiga porsi surabi, tempe bacem bakar lima. Sebelumnya kami mampir beli yoghurt kesukaan kami berdua. Kami bawa makanan ke rumah dan makan dengan lahap. Semua habis, sampai kemudian berita Daeng Basse yang mati kelaparan bersama bayinya sampai ke telinga.

Semangat saya langsung turun. Saya ingat rasanya kelaparan. Saat itu terjadi, tubuh terasa lumpuh, tak mampu bergerak. Semua terasa ngilu dan kelu. Jemari bergeletar, mata berkunang-kunang. Rasanya tubuh bisa melayang tanpa beban. Semua suara yang sampai ke telinga kita terdengar amat intens, bahkan desir angin terhalus sekalipun takkan luput dari pendengaran. Ada rasa sakit yang dahsyat di rongga perut, diimbangi kemampuan melihat dan mendengar melampaui batas. Ada kenikmatan tak terperi di tengah nyeri tak terkira. Begitulah saya mendefinisikan kelaparan.

Dulu, dulu sekali, saat masih kuliah, saya pernah mengalaminya. Tubuh sudah sulit digerakkan. Doa sudah dipanjatkan, saya bersiap. Rasanya sudah mau mati saja. Perut saya sudah dekok. Rasanya melilit, sakit sekali. Saya berdoa dan berdoa. Tak lama sayup-sayup terdengar suara orang. Saya kira suara malaikat. Ternyata memang ada yang datang. Saya tak sanggup membuka pintu. Bahkan lupa pintu dikunci atau tidak. Orang yang datang lalu membopong saya. Semua terasa melayang. Saya tetap berdoa. Dengan bibir pecah teramat parah (hingga berdarah), saya mencoba tanya siapa penolong saya. Ketika membuka mata saya sadar sedang ada di dipan pemeriksaan dokter. Cairan di tubuh saya diambil. Dokter dan penolong saya berbicara dengan suara rendah.

Saya menderita kekurangan gizi akut, atau gizi buruk. Tubuh saya hanya 36-37 kg, paling banter 38. Saya kurus sekali, seperti sudah tua, padahal usia masih awal 20-an. Pak Mammukat, nama penolong saya itu menyuapi saya bubur encer, agar bisa pulih dulu. Beliau membekali banyak bahan makanan, juga uang, sampai saya kuat dan bisa kembali kuliah. Dari hasil lab, saya terkena sejenis virus cukup berbahaya yang membuat haid saya terhambat hampir dua tahun lamanya. Semua bermula dari gizi yang buruk. (Saking seringnya menghemat, sampai-sampai makan mie instan seminggu empat kali).

Sebenarnya saya tinggal dengan saudara yang berkecukupan. Tetapi waktu kejadian lapar itu, mereka sedang berjuang hidup di negeri orang dalam waktu lama. Uang saku lama-lama habis juga. Saya sering malu jika butuh uang lagi, karena sudah merasa sangat merepotkan. Sudah disekolahkan, masih minta-minta pula.

Untunglah kini saya hidup cukup baik. Setidaknya tawaran kerja masih mengalir. Itu membuat saya merasa cukup. Pernah sih, kami benar-benar habis uang. Anehnya ASI saya tetap bagus dan lancar, padahal hanya makan nasi garam dari pagi sampai sore. Yang tersulit adalah menjaga keyakinan atau optimisme, bahwa rejeki bakal selalu ada. Menjelang maghrib, pintu diketuk tetangga yang rumahnya agak jauh, yang baru saja selamatan nujuh bulanan. Dia bilang, "Ke orang lain saya hanya bawa satu besek, entah kenapa ke Lalang kok bawa dua." Kami tertawa. Saya merasa doa saya dikabulkan. Mungkin naif, tapi Tuhan memang Maha Mendengar. Ora sare, kata orang Jawa. Besoknya suami memutuskan melelang kaset-kasetnya. Setelah itu kami bisa hidup agak lapang.

Berat sekali mendengar dan menyaksikan berita mengguncangkan ini. Urusan Daeng Basse di dunia sudah selesai, memang. Namun selamanya beberapa di antara kita akan terus dihantui perasaan malu karena berdalih dia mati akibat dehidrasi. Saya seorang ibu, seorang manusia. Meski kemanusiaan saya masih sering karut marut oleh banyaknya kesalahan yang saya lakukan, rasanya ini keterlaluan sekali.

Melihat sekilas gambar Daeng Basse yang mayatnya ditutupi kain, saya menangis. Rasanya campur aduk. Perut saya baru saja terisi yoghurt, surabi dan tempe bacem sambel, sedangkan di sudut sana, seorang perempuan sedang hamil dan bayinya harus meregang nyawa setelah kalah melawan lapar. Si sulung tanya, "Bu, kalau matinya kelaparan gitu, apa bisa masuk surga?" Saya tersengal, tersendat menyahut, "Ya, bisa." Kami sama-sama diam. Lalu tanyanya lagi, "Kita juga pernah kan bu kelaparan? Untung ya bu, kita diselamatin Allah." Dia tersenyum, wajahnya terlihat sedikit lega. Saya matikan TV. Hati saya menjerit lagi, entah kenapa. Barangkali karena saya merasa, Daeng Basse tanpa sengaja luput dari penyelamatan oleh….

Entahlah, wallahu'alam bisshawab. Tuhan pasti tahu. Gusti Allah ora sare, nak.
[]

* Sketsa oleh Herry Mardian

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang