Memahami Takdir dan Kehendak Allah

Posted in Ustadz Menjawab - Aqidah by Adwan on the Juni 20th, 2008

Salam buat ustadz sekeluarga semoga Allah selalu melindungi dan memberi kebahagiaan dunia akhirat.

Mohon kesediaan waktu ustadz untuk menjelaskan dengan bahasa yang mudah tentang keterjebakan kita antara paham Qadariyah dan Jabariyah.

Intinnya, bagaimana kita memahami takdir dan kehendak Allah? Apakah kita ikut arus saja sesuai kehendak Allah ataukah kita harus melawan takdir itu?

Soalnya masalah ini kadang kalau dipikirkan jadi bikin penasaran juga. Mungkin ustadz punya jawaban yang lebih menenangkan hati.

Demikian semoga Allah SWT meneguhkan hati kita dalam iman dan taat kepada-Nya, Amien

Wasalam

Abdul Jabar
abduljabar@yahoo.com

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahamatullahi wabarakatuh,

Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah memang pernah untuk sesaat mengharu biru dunia Islam, setidaknya untuk kurun waktu tertentu di wilayah tertentu. Namun alhamdulillah keduanya sudah mati karena tidak ada pengikutnya.

Kematian kedua ajaran ekstrim dan fatalis itu tidak lain karena memang tidak sesuai dengan nurani dan logika berpikir yang sehat. Selain tentunya memang tidak sesuai dengan apa yang Allah SWT ajarakan di dalam kitab suci-Nya.

Paham Jabariyah

Paham Jabariyah yang sesat itu berpandangan bahwa peran usaha dan upaaya manusia tidak ada artinya dan percuma dilakukan. Sebaliknya, segala sesuatu sangat tergantung satu-satunya kepada kehendak Allah SWT.

Hanya kehendak Allah saja yang menentukan, menetapkan dan memutuskan segala nasib hingga amal perbuatan manusia. Hanya Qudrat dan Iradat Allah yang berlaku. Sedangkan usaha dan upaya manusia tidak ada artinya sama sekali.

Paham jabariyah muncul karena terpengaruh dengan pemikiran dari aliran Determinismus dalam Theologis Islam. Paham ini mula-mula timbul di Khurasan (Persia) dengan pemimpinnya yang pertama bernama Jaham bin Shafwan. Sehingga aliran sesat ini disebut juga Madzhab Jahamiyah. Jaham bin Shafwan mendirikan aliran Jabariyah ini belajar dari seorang Yahudi yang masuk Islam bernama Thalud bin A’sam.

Prinsip kesesatannya adalah bahwa manusia diibaratkan sebagai kapas yang berterbangan mengikuti tiupan angin. Manusia tidak mempunyai kemampuan memilih jalan hidupnya. Perbuatan baik atau jahat yang dilakukan manusia sudah ditetapkan Allah.

Untuk lebih keren, paham sesat Jabariyah suka pakai ayat Quran yang dipahami secara aneh dan keliru, sekedar untuk melegitimasi pendiriannya yang menyimpang. Misalnya ayat berikut ini:

Sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. Ash-Shaffat: 96)

Qadariyah: Kontra Jabariyah

Dalam menentang paham Jabariyah, paham sesat Qadariyah justru secara ekstrim menyangkal adanya kekuasaan Allah. Manusia sebagai makhluk Allah secara mutlak dapat menentukan sendiri segala sesuatu dalam hidupnya.

Dalam pandangan aqidah sesat ini, Allah SWT sudah tidak berkuasa lagi setelah mencipta. Tugas Allah SWT hanya mencipta, setelah itu Allah sudah tidak punya kuasa apa-apa lagi kepada makhluk yang diciptakan-Nya iut. Kekuasan kemudian ada di tangan manusia. Manusia lah yang kemudian mengatur dirinya dan alam semesta melalui hukum sebab akibat.

Jelas sesat sekali paham ini dan benar-benar telah jauh menyimpang dari arah aqidah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Maka sepakat para ulama akidah untuk menyebutkan bahwa akidah Qadariyah ini adalah akidah yang sesat dan menyimpang serta merupakan bid’ah yang sesat.

Tapi biar kelihatan benar, terpaksa para pemuka aliran ini menggunakan ayat Quran yang ditafsir-tafsrikan sekenanya sebagai dalil. Mumpung banyak umat Islam yang buta huruf Arab dan tidak mengerti tafsir dengan benar. Dan kenyataannya, kebodohan umat Islam itu memang sangat efektif untuk membawa mereka ke arah pengaburan akidah.

Biasanya yang paling sering dipakai dan jadi korbannya adalah ayat berikut ini:

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’ad: 11)

Paham ini tidak lain hanyalah sebuah Indeterminismus Theologis Islam. Tokoh yang sering disebut-sebut sebagai pelopornya antara lain Ma’bad al-Juhani al-Bisri dan al-Ja’du bin Dirham, sekitar tahun 70 Hijriah atau 689 Masehi.

Jabariyah VS Qadariyah

Karena memang sangat bertentangan, terkadang terjadi hal yang lucu. Kedua aliran sesat itu kemudian saling bertikai dengan cara yang memalukan.

Tidak jarang mereka saling mencaci dan memaki, bahkan sampai ke tingkat pertumpahan darah. Repot juga ya, sudah sesat, eh masih saling menuduh lawannya sesat.

Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi, bilamana masing-masing pihak mengetahui dan menyadari bahwa paham-paham tadi sebenarnya bersumber dari luar ajaran Islam.

Dua paham fatalis itu sesungguhnya lahir dari kerancuan berpikir pada filsouf jadul di masa Yunani Kuno. Pada masa penerjemahan besar-besaran terhadap ilmu pengetahuan dari Eropa ke dalam bahasa Arab, rupanya ada orang-orang yang masih lemah iman ikut-ikutan mempelajari kerancuan filsafat Eropa itu.

Adalah Thalud bin A’sam, seorang yang asalnya beragama yahudi, lantas masuk Islam, yang sering disebut-sebut paling bertanggug-jawab dalam masalah penyebaran aliran ekstrim dan pemikiran fatalis ini.

Lalu Bagaimana Kita Memahami Takdir Allah?

Mungkin kita jadi bertanya, kalau dua kutub ekstrim itu sesat, yaitu Jabariyah dan Qadariyah, lalu bagaimana kita memahami takdir, kehendak atau ketentuan Allah itu?

Jawabnya sederhana saja dan kita tidak perlu jauh-jauh belajar kepada filsouf Yunani yang mereka sendiri saja rancu ketika menjawabnya.

Sesungguhnya taqdir atau kehendak Allah itu ada tiga lapis yang merupakan satu kesatuan.

1. Kehendak (Iradah) Kauniyah

Kehendak Allah ini disebut iradah (kehendak) kauniyah, yaitu berlakunya kehendak Allah itu sebagai ketentuan di alam semesta.

Contohnya adalah hukum kausalitas dalam segala sesuatu. Misalnya dalam hukum fisika yang ada di alam semesta ini. Ada grafitasi, ada berat, ada panas, dingin, dan seterusnya. Semua itu adalah iradah atau ketentuan Allah SWT. Dan semua merupakan sunnatullah yang berjalan.

Di dalam kehidupan ini juga ada hukum kausalitas yang berlaku. Mau pandai, ya harus belajar. Mau kaya dan banyak uang, ya tentu saja harus harus bekerja keras, efisien, berhemat, menabung dan lainnnya.

Dalam sunnatullah ini, segala sesuatu berjalan semata memang dengan hukum sebab akibat dan tidak ada kaitannya dengan apakah sesorang itu muslim atau tidak muslim.

Jika giat belajar akan menjadi pandai, jika rajin bekerja akan berhemat akan menjadi kaya. Semua ini merupakan bagian dari kehendak Allah yang berlaku umum.

2. Kehendak (Iradah) Syar’iyah

Selanjutnya, pada level berikutnya ada iradah (kehendak) syar’iyah. Di mana Allah secara khusus, Allah berkehendak agar umat manusia mengikuti ajaran yang telah diturunkan-Nya lewat para nabi dan kitab suci.

Iradah syar’iyah ini memang perintah, namun sifatnya khusus hanya kepada manusia saja. Sedangkan hewan, tumbuhan dan alam semesta yang lainnya, tidak ikutan dalam kehendak yang satu ini.

Bahkan buat manusia (dan jin), kehendak ini sifatnya tidak mengikat. Sifatnya pilihan, kalau mau silahkan ikuti kehendak (perintah Allah), tentu dengan segala resikonya. Dan kalau tidak mau, tidak lantas dibikin mati langsung atau disiksa. Silahkan saja tidak menjalankan kehendak Allah, tapi resikonya ada.

Cuma resikonya tidak langsung kelihatan, tidak seperti iradah kauniyah yang langsung bisa dirasakan. Orang betawi bilang, “Dosa tidak bejendol.” Setidaknya orang atheis dan kafir memang suka memanfaatkan kesempatan bodoh ini.

Manusia diberi kebebasan untuk memilih pilihan yang mana. Untuk itu manusia sudah diberi fasilitas yang tidak pernah Allah SWT berikan kepada makhluk lainnya. Fasilitas itu amat berharga dan teramat unik. Belum pernah Allah berikan kepada makhuk lain, sehingga makhluk lain itu iri hati kepada manusia.

Fasilitas itu adalah akal dan hati. Jika ada manusia dengan akal dan hatinya menjatuhkan pilihan untuk menjadi pembangkang, begundal atau sekalian jadi orang kafir, ya resikonya harus ditanggung sendiri.

Pasti akal dan hatinya pasti bisa memberikan pertimbangan yang matang. Cuma sayangnya, seringkali akal dan kalbunya itu malah tidak dipakai. Seperti yang Allah SWT ceritakan di dalam Quran:

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. Al-A’raf: 179)

Yang lebih parah lagi adalah ketika hati mereka sudah rusak atau sakit, sehingga tidak bisa berfungsi dengan benar. Ini juga diceritakan Allah SWT di dalam Quran:

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.(QS. Al-Baqarah: 10)

3. Kehendak (Iradah) Khashshah

Kehendak yang terakhir ini sifatnya sangat khusus, dan memang kita mengenal adanya perlakuan kehendak yang teramat khusus dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, tapi hanya terbatas sekali.

Tentunya tidak terlalu banyak berlaku pada makhluk lainnya. Hanya kepada objek-objek tertentu saja kehendak itu dijalankan.

Misalnya, ada orang yang atas kehendak Allah, pada akhirnya mati husnul khatimah. Padahal sepanjang hidupnya bergelimang dengan dosa dan kesesatan.

Tentunya kita tidak bisa bilang begini, “Tuh kan, biar pun banyak dosa, tapi kan akhirnya masuk surga juga. Makanya sekarang ini bikin aja dosa-dosa sebanyak-banyaknya, toh akhirnya kan bakalan masuk surga juga.”

Kalau memang begitu logikanya, lalu asyik bikin dosa terus mati dan masuk neraka, jangan protes. “Kok saya masuk neraka, ya Allah, bukankah itu orang lain bikin dosa akhirnya masuk surga?”

Tentu saja protes itu tidak berlaku. Sebab kehendak Allah SWT untuk memberi hidayah kepada orang itu bisa tobat tidak semata diberikan kepada siapa saja.

Biasanya para bencong yang sesat dan menyesatkan sering kali pakai dalil ini. “Biarin aja aku begini (jadi bencong), toh ini kehendak ‘yang di atas’ juga.” Tidak jelas maksudnya, tapi barangkali dia mengangigap dirinya jadi bencong itu karena kehendak Allah, jadi mana mungkin Allah akan menyiksa dirinya?

Alangkah naif dan aneh pemikirannya. Dengar, bahkan sekedar menyebut nama Tuhan atau Allah pun tidak mau, najis barangkali dalam pandangannya. Maka dia sebut itu adala kehendak ‘yang di atas’. Siapa yang dimaksud dengan ‘yang di atas”? Monyet lagi nangkring atau tukang betulin genteng?

Kita sebenarnya merasa kasihan sekali kepada para bencong itu, sudah dosa, sesat pula akidahnya, mati neraka lagi. Eh, bangga pula dengan tindakannya. Na’udzubillahi min zhalik

Buat khalayak umum, yang berlaku adalah hukum pada level dasar. Di mana semua orang harus kerja keras untuk mendapatkan surga, tidak bisa enak-enakan menumpuk dosa lalu berpikir akan ada keajabian, lalu masuk surga.

Fasilitas seperti hidayah dan pengampunan ini tidak buat orang banyak, hanya berlaku buat kasus tertentu saja.

Ibarat seorang Presiden yang punya hak grasi dan pengampunan. Allah yang Maha Pencipta Alam Semesta mempunyai hak prerogatif yang tidak bisa diganggu gugat. Jika kepada Presiden diajukan yang namanya grasi, maka seorang hamba Allah untuk menghadirkan hak prerogatif Allah yaitu dengan melalui do’a yang diikuti dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh.

Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah memang pernah untuk sesaat mengharu biru dunia Islam, setidaknya untuk kurun waktu tertentu di wilayah tertentu. Namun alhamdulillah keduanya sudah mati karena tidak ada pengikutnya.

Kematian kedua ajaran ekstrim dan fatalis itu tidak lain karena memang tidak sesuai dengan nurani dan logika berpikir yang sehat. Selain tentunya memang tidak sesuai dengan apa yang Allah SWT ajarakan di dalam kitab suci-Nya.

Paham Jabariyah

Paham Jabariyah yang sesat itu berpandangan bahwa peran usaha dan upaaya manusia tidak ada artinya dan percuma dilakukan. Sebaliknya, segala sesuatu sangat tergantung satu-satunya kepada kehendak Allah SWT.

Hanya kehendak Allah saja yang menentukan, menetapkan dan memutuskan segala nasib hingga amal perbuatan manusia. Hanya Qudrat dan Iradat Allah yang berlaku. Sedangkan usaha dan upaya manusia tidak ada artinya sama sekali.

Paham jabariyah muncul karena terpengaruh dengan pemikiran dari aliran Determinismus dalam Theologis Islam. Paham ini mula-mula timbul di Khurasan (Persia) dengan pemimpinnya yang pertama bernama Jaham bin Shafwan. Sehingga aliran sesat ini disebut juga Madzhab Jahamiyah. Jaham bin Shafwan mendirikan aliran Jabariyah ini belajar dari seorang Yahudi yang masuk Islam bernama Thalud bin A’sam.

Prinsip kesesatannya adalah bahwa manusia diibaratkan sebagai kapas yang berterbangan mengikuti tiupan angin. Manusia tidak mempunyai kemampuan memilih jalan hidupnya. Perbuatan baik atau jahat yang dilakukan manusia sudah ditetapkan Allah.

Untuk lebih keren, paham sesat Jabariyah suka pakai ayat Quran yang dipahami secara aneh dan keliru, sekedar untuk melegitimasi pendiriannya yang menyimpang. Misalnya ayat berikut ini:

Sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. Ash-Shaffat: 96)

Qadariyah: Kontra Jabariyah

Dalam menentang paham Jabariyah, paham sesat Qadariyah justru secara ekstrim menyangkal adanya kekuasaan Allah. Manusia sebagai makhluk Allah secara mutlak dapat menentukan sendiri segala sesuatu dalam hidupnya.

Dalam pandangan aqidah sesat ini, Allah SWT sudah tidak berkuasa lagi setelah mencipta. Tugas Allah SWT hanya mencipta, setelah itu Allah sudah tidak punya kuasa apa-apa lagi kepada makhluk yang diciptakan-Nya iut. Kekuasan kemudian ada di tangan manusia. Manusia lah yang kemudian mengatur dirinya dan alam semesta melalui hukum sebab akibat.

Jelas sesat sekali paham ini dan benar-benar telah jauh menyimpang dari arah aqidah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Maka sepakat para ulama akidah untuk menyebutkan bahwa akidah Qadariyah ini adalah akidah yang sesat dan menyimpang serta merupakan bid’ah yang sesat.

Tapi biar kelihatan benar, terpaksa para pemuka aliran ini menggunakan ayat Quran yang ditafsir-tafsrikan sekenanya sebagai dalil. Mumpung banyak umat Islam yang buta huruf Arab dan tidak mengerti tafsir dengan benar. Dan kenyataannya, kebodohan umat Islam itu memang sangat efektif untuk membawa mereka ke arah pengaburan akidah.

Biasanya yang paling sering dipakai dan jadi korbannya adalah ayat berikut ini:

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’ad: 11)

Paham ini tidak lain hanyalah sebuah Indeterminismus Theologis Islam. Tokoh yang sering disebut-sebut sebagai pelopornya antara lain Ma’bad al-Juhani al-Bisri dan al-Ja’du bin Dirham, sekitar tahun 70 Hijriah atau 689 Masehi.

Jabariyah VS Qadariyah

Karena memang sangat bertentangan, terkadang terjadi hal yang lucu. Kedua aliran sesat itu kemudian saling bertikai dengan cara yang memalukan.

Tidak jarang mereka saling mencaci dan memaki, bahkan sampai ke tingkat pertumpahan darah. Repot juga ya, sudah sesat, eh masih saling menuduh lawannya sesat.

Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi, bilamana masing-masing pihak mengetahui dan menyadari bahwa paham-paham tadi sebenarnya bersumber dari luar ajaran Islam.

Dua paham fatalis itu sesungguhnya lahir dari kerancuan berpikir pada filsouf jadul di masa Yunani Kuno. Pada masa penerjemahan besar-besaran terhadap ilmu pengetahuan dari Eropa ke dalam bahasa Arab, rupanya ada orang-orang yang masih lemah iman ikut-ikutan mempelajari kerancuan filsafat Eropa itu.

Adalah Thalud bin A’sam, seorang yang asalnya beragama yahudi, lantas masuk Islam, yang sering disebut-sebut paling bertanggug-jawab dalam masalah penyebaran aliran ekstrim dan pemikiran fatalis ini.

Lalu Bagaimana Kita Memahami Takdir Allah?

Mungkin kita jadi bertanya, kalau dua kutub ekstrim itu sesat, yaitu Jabariyah dan Qadariyah, lalu bagaimana kita memahami takdir, kehendak atau ketentuan Allah itu?

Jawabnya sederhana saja dan kita tidak perlu jauh-jauh belajar kepada filsouf Yunani yang mereka sendiri saja rancu ketika menjawabnya.

Sesungguhnya taqdir atau kehendak Allah itu ada tiga lapis yang merupakan satu kesatuan.

1. Kehendak (Iradah) Kauniyah

Kehendak Allah ini disebut iradah (kehendak) kauniyah, yaitu berlakunya kehendak Allah itu sebagai ketentuan di alam semesta.

Contohnya adalah hukum kausalitas dalam segala sesuatu. Misalnya dalam hukum fisika yang ada di alam semesta ini. Ada grafitasi, ada berat, ada panas, dingin, dan seterusnya. Semua itu adalah iradah atau ketentuan Allah SWT. Dan semua merupakan sunnatullah yang berjalan.

Di dalam kehidupan ini juga ada hukum kausalitas yang berlaku. Mau pandai, ya harus belajar. Mau kaya dan banyak uang, ya tentu saja harus harus bekerja keras, efisien, berhemat, menabung dan lainnnya.

Dalam sunnatullah ini, segala sesuatu berjalan semata memang dengan hukum sebab akibat dan tidak ada kaitannya dengan apakah sesorang itu muslim atau tidak muslim.

Jika giat belajar akan menjadi pandai, jika rajin bekerja akan berhemat akan menjadi kaya. Semua ini merupakan bagian dari kehendak Allah yang berlaku umum.

2. Kehendak (Iradah) Syar’iyah

Selanjutnya, pada level berikutnya ada iradah (kehendak) syar’iyah. Di mana Allah secara khusus, Allah berkehendak agar umat manusia mengikuti ajaran yang telah diturunkan-Nya lewat para nabi dan kitab suci.

Iradah syar’iyah ini memang perintah, namun sifatnya khusus hanya kepada manusia saja. Sedangkan hewan, tumbuhan dan alam semesta yang lainnya, tidak ikutan dalam kehendak yang satu ini.

Bahkan buat manusia (dan jin), kehendak ini sifatnya tidak mengikat. Sifatnya pilihan, kalau mau silahkan ikuti kehendak (perintah Allah), tentu dengan segala resikonya. Dan kalau tidak mau, tidak lantas dibikin mati langsung atau disiksa. Silahkan saja tidak menjalankan kehendak Allah, tapi resikonya ada.

Cuma resikonya tidak langsung kelihatan, tidak seperti iradah kauniyah yang langsung bisa dirasakan. Orang betawi bilang, “Dosa tidak bejendol.” Setidaknya orang atheis dan kafir memang suka memanfaatkan kesempatan bodoh ini.

Manusia diberi kebebasan untuk memilih pilihan yang mana. Untuk itu manusia sudah diberi fasilitas yang tidak pernah Allah SWT berikan kepada makhluk lainnya. Fasilitas itu amat berharga dan teramat unik. Belum pernah Allah berikan kepada makhuk lain, sehingga makhluk lain itu iri hati kepada manusia.

Fasilitas itu adalah akal dan hati. Jika ada manusia dengan akal dan hatinya menjatuhkan pilihan untuk menjadi pembangkang, begundal atau sekalian jadi orang kafir, ya resikonya harus ditanggung sendiri.

Pasti akal dan hatinya pasti bisa memberikan pertimbangan yang matang. Cuma sayangnya, seringkali akal dan kalbunya itu malah tidak dipakai. Seperti yang Allah SWT ceritakan di dalam Quran:

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. Al-A’raf: 179)

Yang lebih parah lagi adalah ketika hati mereka sudah rusak atau sakit, sehingga tidak bisa berfungsi dengan benar. Ini juga diceritakan Allah SWT di dalam Quran:

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.(QS. Al-Baqarah: 10)

3. Kehendak (Iradah) Khashshah

Kehendak yang terakhir ini sifatnya sangat khusus, dan memang kita mengenal adanya perlakuan kehendak yang teramat khusus dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, tapi hanya terbatas sekali.

Tentunya tidak terlalu banyak berlaku pada makhluk lainnya. Hanya kepada objek-objek tertentu saja kehendak itu dijalankan.

Misalnya, ada orang yang atas kehendak Allah, pada akhirnya mati husnul khatimah. Padahal sepanjang hidupnya bergelimang dengan dosa dan kesesatan.

Tentunya kita tidak bisa bilang begini, “Tuh kan, biar pun banyak dosa, tapi kan akhirnya masuk surga juga. Makanya sekarang ini bikin aja dosa-dosa sebanyak-banyaknya, toh akhirnya kan bakalan masuk surga juga.”

Kalau memang begitu logikanya, lalu asyik bikin dosa terus mati dan masuk neraka, jangan protes. “Kok saya masuk neraka, ya Allah, bukankah itu orang lain bikin dosa akhirnya masuk surga?”

Tentu saja protes itu tidak berlaku. Sebab kehendak Allah SWT untuk memberi hidayah kepada orang itu bisa tobat tidak semata diberikan kepada siapa saja.

Biasanya para bencong yang sesat dan menyesatkan sering kali pakai dalil ini. “Biarin aja aku begini (jadi bencong), toh ini kehendak ‘yang di atas’ juga.” Tidak jelas maksudnya, tapi barangkali dia mengangigap dirinya jadi bencong itu karena kehendak Allah, jadi mana mungkin Allah akan menyiksa dirinya?

Alangkah naif dan aneh pemikirannya. Dengar, bahkan sekedar menyebut nama Tuhan atau Allah pun tidak mau, najis barangkali dalam pandangannya. Maka dia sebut itu adala kehendak ‘yang di atas’. Siapa yang dimaksud dengan ‘yang di atas”? Monyet lagi nangkring atau tukang betulin genteng?

Kita sebenarnya merasa kasihan sekali kepada para bencong itu, sudah dosa, sesat pula akidahnya, mati neraka lagi. Eh, bangga pula dengan tindakannya. Na’udzubillahi min zhalik

Buat khalayak umum, yang berlaku adalah hukum pada level dasar. Di mana semua orang harus kerja keras untuk mendapatkan surga, tidak bisa enak-enakan menumpuk dosa lalu berpikir akan ada keajabian, lalu masuk surga.

Fasilitas seperti hidayah dan pengampunan ini tidak buat orang banyak, hanya berlaku buat kasus tertentu saja.

Ibarat seorang Presiden yang punya hak grasi dan pengampunan. Allah yang Maha Pencipta Alam Semesta mempunyai hak prerogatif yang tidak bisa diganggu gugat. Jika kepada Presiden diajukan yang namanya grasi, maka seorang hamba Allah untuk menghadirkan hak prerogatif Allah yaitu dengan melalui do’a yang diikuti dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh.

Jadi taqdir Allah itu didahului dengan usaha sungguh-sungguh dibarengi dengan do’a yang bersungguh-sungguh pula. Inilah pemahaman taqdir dalam Islam secara tepat dan benar.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber : Era Muslim

Jadi taqdir Allah itu didahului dengan usaha sungguh-sungguh dibarengi dengan do’a yang bersungguh-sungguh pula. Inilah pemahaman taqdir dalam Islam secara tepat dan benar.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang