Lalu Bagaimana Kita Memahami Takdir Allah?

Mungkin kita jadi bertanya, kalau dua kutub ekstrim itu sesat, yaitu Jabariyah dan Qadariyah, lalu bagaimana kita memahami takdir, kehendak atau ketentuan Allah itu?

Jawabnya sederhana saja dan kita tidak perlu jauh-jauh belajar kepada filsouf Yunani yang mereka sendiri saja rancu ketika menjawabnya.

Sesungguhnya taqdir atau kehendak Allah itu ada tiga lapis yang merupakan satu kesatuan.

1. Kehendak (Iradah) Kauniyah

Kehendak Allah ini disebut iradah (kehendak) kauniyah, yaitu berlakunya kehendak Allah itu sebagai ketentuan di alam semesta.

Contohnya adalah hukum kausalitas dalam segala sesuatu. Misalnya dalam hukum fisika yang ada di alam semesta ini. Ada grafitasi, ada berat, ada panas, dingin, dan seterusnya. Semua itu adalah iradah atau ketentuan Allah SWT. Dan semua merupakan sunnatullah yang berjalan.

Di dalam kehidupan ini juga ada hukum kausalitas yang berlaku. Mau pandai, ya harus belajar. Mau kaya dan banyak uang, ya tentu saja harus harus bekerja keras, efisien, berhemat, menabung dan lainnnya.

Dalam sunnatullah ini, segala sesuatu berjalan semata memang dengan hukum sebab akibat dan tidak ada kaitannya dengan apakah sesorang itu muslim atau tidak muslim.

Jika giat belajar akan menjadi pandai, jika rajin bekerja akan berhemat akan menjadi kaya. Semua ini merupakan bagian dari kehendak Allah yang berlaku umum.

2. Kehendak (Iradah) Syar'iyah

Selanjutnya, pada level berikutnya ada iradah (kehendak) syar'iyah. Di mana Allah secara khusus, Allah berkehendak agar umat manusia mengikuti ajaran yang telah diturunkan-Nya lewat para nabi dan kitab suci.

Iradah syar'iyah ini memang perintah, namun sifatnya khusus hanya kepada manusia saja. Sedangkan hewan, tumbuhan dan alam semesta yang lainnya, tidak ikutan dalam kehendak yang satu ini.

Bahkan buat manusia (dan jin), kehendak ini sifatnya tidak mengikat. Sifatnya pilihan, kalau mau silahkan ikuti kehendak (perintah Allah), tentu dengan segala resikonya. Dan kalau tidak mau, tidak lantas dibikin mati langsung atau disiksa. Silahkan saja tidak menjalankan kehendak Allah, tapi resikonya ada.

Cuma resikonya tidak langsung kelihatan, tidak seperti iradah kauniyah yang langsung bisa dirasakan. Orang betawi bilang, "Dosa tidak bejendol." Setidaknya orang atheis dan kafir memang suka memanfaatkan kesempatan bodoh ini.

Manusia diberi kebebasan untuk memilih pilihan yang mana. Untuk itu manusia sudah diberi fasilitas yang tidak pernah Allah SWT berikan kepada makhluk lainnya. Fasilitas itu amat berharga dan teramat unik. Belum pernah Allah berikan kepada makhuk lain, sehingga makhluk lain itu iri hati kepada manusia.

Fasilitas itu adalah akal dan hati. Jika ada manusia dengan akal dan hatinya menjatuhkan pilihan untuk menjadi pembangkang, begundal atau sekalian jadi orang kafir, ya resikonya harus ditanggung sendiri.

Pasti akal dan hatinya pasti bisa memberikan pertimbangan yang matang. Cuma sayangnya, seringkali akal dan kalbunya itu malah tidak dipakai. Seperti yang Allah SWT ceritakan di dalam Quran:

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. Al-A'raf: 179)

Yang lebih parah lagi adalah ketika hati mereka sudah rusak atau sakit, sehingga tidak bisa berfungsi dengan benar. Ini juga diceritakan Allah SWT di dalam Quran:

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.(QS. Al-Baqarah: 10)

3. Kehendak (Iradah) Khashshah

Kehendak yang terakhir ini sifatnya sangat khusus, dan memang kita mengenal adanya perlakuan kehendak yang teramat khusus dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, tapi hanya terbatas sekali.

Tentunya tidak terlalu banyak berlaku pada makhluk lainnya. Hanya kepada objek-objek tertentu saja kehendak itu dijalankan.

Misalnya, ada orang yang atas kehendak Allah, pada akhirnya mati husnul khatimah. Padahal sepanjang hidupnya bergelimang dengan dosa dan kesesatan.

Tentunya kita tidak bisa bilang begini, "Tuh kan, biar pun banyak dosa, tapi kan akhirnya masuk surga juga. Makanya sekarang ini bikin aja dosa-dosa sebanyak-banyaknya, toh akhirnya kan bakalan masuk surga juga."

Kalau memang begitu logikanya, lalu asyik bikin dosa terus mati dan masuk neraka, jangan protes. "Kok saya masuk neraka, ya Allah, bukankah itu orang lain bikin dosa akhirnya masuk surga?"

Tentu saja protes itu tidak berlaku. Sebab kehendak Allah SWT untuk memberi hidayah kepada orang itu bisa tobat tidak semata diberikan kepada siapa saja.

Biasanya para bencong yang sesat dan menyesatkan sering kali pakai dalil ini. "Biarin aja aku begini (jadi bencong), toh ini kehendak 'yang di atas' juga." Tidak jelas maksudnya, tapi barangkali dia mengangigap dirinya jadi bencong itu karena kehendak Allah, jadi mana mungkin Allah akan menyiksa dirinya?

Alangkah naif dan aneh pemikirannya. Dengar, bahkan sekedar menyebut nama Tuhan atau Allah pun tidak mau, najis barangkali dalam pandangannya. Maka dia sebut itu adala kehendak 'yang di atas'. Siapa yang dimaksud dengan 'yang di atas"? Monyet lagi nangkring atau tukang betulin genteng?

Kita sebenarnya merasa kasihan sekali kepada para bencong itu, sudah dosa, sesat pula akidahnya, mati neraka lagi. Eh, bangga pula dengan tindakannya. Na'udzubillahi min zhalik

Buat khalayak umum, yang berlaku adalah hukum pada level dasar. Di mana semua orang harus kerja keras untuk mendapatkan surga, tidak bisa enak-enakan menumpuk dosa lalu berpikir akan ada keajabian, lalu masuk surga.

Fasilitas seperti hidayah dan pengampunan ini tidak buat orang banyak, hanya berlaku buat kasus tertentu saja.

Ibarat seorang Presiden yang punya hak grasi dan pengampunan. Allah yang Maha Pencipta Alam Semesta mempunyai hak prerogatif yang tidak bisa diganggu gugat. Jika kepada Presiden diajukan yang namanya grasi, maka seorang hamba Allah untuk menghadirkan hak prerogatif Allah yaitu dengan melalui do'a yang diikuti dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh.

Jadi taqdir Allah itu didahului dengan usaha sungguh-sungguh dibarengi dengan do'a yang bersungguh-sungguh pula. Inilah pemahaman taqdir dalam Islam secara tepat dan benar.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang