REKAYASA RIYA

Kh. Jalaludin Rakhmat

Kita seringkali terpesona oleh penampakkan-penampakkan lahiriah yang ditangkap oleh
mata kita. Begitu pula jika kita ingin mempengaruhi orang lain, kita selalu merekayasa penampilan atau penampakkan lahiriah kita. Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah upaya manusia untuk mengatur penampakkan lahiriahnya supaya dinilai orang lain bahwa ia adalah orang alim atau orang saleh yang dekat kepada Allah swt. Meskipun hal itu masalah hati nurani, kita dapat dengan mudah mengidentifikasi orang yang Riya. Ciri orang Riya adalah ia punya dua wajah; wajah publik dan wajah privat. Wajah publik adalah penampilan yang ia tampakkan di hadapan umum sedangkan wajah privat adalah penampilan yang ia tampakkan di lingkungan yang terbatas. Bila ia salat di depan orang banyak (di hadapan publik), salatnya amat rajin sementara ketika ia salat sendirian (di lingkungan privat), salatnya menjadi malas. Contoh lain adalah seseorang yang selalu melakukan salat sunat di masjid tetapi selalu meninggalkannya ketika ia di rumah. Orang tersebut akan menambah amalnya bila di hadapan orang banyak dan mengurangi amalnya bila ia sendirian. Ketika di hadapan orang banyak, ia akan sangat memperhatikan waktu salat sementara di rumahnya, ia jarang salat tepat waktu
.

Upaya rekayasa itu di dalam Islam disebut dengan Riya. Riya berasal dari kata ra'a yang berarti melihat.
Secara harfiah, Riya berarti mengatur sesuatu agar dapat dilihat oleh orang lain. Riya adalah mengatur perilaku kita agar dilihat oleh orang lain dan tujuan akhirnya, agar orang lain itu akan menyimpulkan bahwa kita ini orang saleh. Bagaimana bila kita meng-atur penampakkan (appearance) kita bukan untuk dinilai sebagai orang saleh melainkan agar dinilai sebagai orang kaya? Hal itu tidak disebut Riya karena yang ingin kita ciptakan bukan citra orang saleh melainkan citra orang kaya. Hal itu tidak apa-apa bila tidak dilakukan secara berlebihan. Mengatur penampilan kita dalam sebuah wawancara kerja, supaya kita diterima, tentu saja tidak merupakan suatu dosa.

Suatu hari Rasulullah saw berangkat bersama Aisyah untuk mengunjungi sahabat-nya. Mereka tiba di suatu sumur. Rasulullah saw bercermin kepada air sumur itu dan memperbaiki serbannya kemudian menyisir rambutnya. Aisyah, seperti biasa, sangat pen-cemburu. Ia bertanya, "Mengapa kau lakukan itu, Ya Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab, "Allah swt senang kepada seorang manusia yang bila ia bertemu dengan sahabat-sahabat-nya, ia menampakkan penampilan yang sebaik-baiknya." Bila kita kedatangan tamu atau bila kita akan bertamu, kita harus memakai pakaian kita yang paling bagus dan memperbaiki penampilan kita. Hal itu merupakan sunnah Rasulullah saw. Mengatur penampilan seperti itu tidak merupakan Riya.

Riya hanya berlaku di dalam ibadat. Di luar itu tidak kita sebut dengan Riya. Kita tidak boleh melakukan Riya walaupun sedikit. Rasulullah saw bersabda, "Ketahuilah bahwa Riya itu haram dan orang yang Riya itu dimurkai Allah swt."

Al-Quran surat Al-Ma'un ayat 4-6 mengecam orang-orang yang Riya di dalam salatnya: Maka celakalah orang-orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya. Di dalam Al-Quran, Tuhan selalu memuji orang-orang yang salat, kecuali dalam surat Al-Ma'un. Dalam ayat lainnya, yaitu ayat 10 surat Fathir, Allah ber-firman: Dan orang-orang yang melakukan makar, bagi mereka azab yang pedih, dan makar mereka pasti tidak akan beruntung. Al-Quran menyebut orang yang melakukan Riya di dalam ibadatnya sebagai orang yang sedang melaku-kan makar kepada Tuhan. Mereka menipu Tuhan; seakan-akan mereka beribadat kepada Tuhan padahal mereka beribadat kepada manusia. Itulah makar yang paling besar. Mereka melakukan tipuan kepada Allah dan kaum beriman padahal sebetulnya mereka menipu diri sendiri hanya mereka tidak menyadarinya saja.

Lawan dari Riya adalah ikhlas. Ikhlas ialah membantu orang lain karena Allah dan tidak mengharap balasan serta terima kasih. Sementara Riya ialah membantu orang lain karena mengharap akan balasan atau paling tidak ucapan terima kasih. Kadang-kadang kita tidak mengetahui bahwa yang kita lakukan adalah Riya. Ketika kita mengetahuinya bahwa orang lain, yang telah kita tolong, malah berbuat jelek terhadap kita, kita sering memutuskan untuk tidak lagi menolongnya. Itu pertanda bahwa kita menolong karena mengharapkan balasan. Orang yang betul-betul ikhlas tidak akan memperhitungkan apakah orang yang ditolong akan membalas atau berterimakasih. Meskipun demikian, kita harus mendidik orang agar selalu berterima kasih. Orang yang tidak bisa berterima kasih tidak akan pernah bahagia di dalam hidupnya. Ia akan menderita gang-guan psikologis. Orang yang bahagia adalah orang yang penuh dengan rasa terima kasih kepada orang-orang di sekitarnya.

Sebuah hadis yang diriwayatkan dari Imam Jakfar Al-Shadiq as meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Akan datang kepada manusia satu zaman ketika orang itu buruk secara batiniah tetapi secara lahiriah mereka tampakkan kebaikannya. Mereka mengharap-kan dunia dan tidak mengharapkan apa yang berasal dari Tuhan mereka. Agama mereka adalah Riya yang tidak disertai rasa takut. Allah akan menimpakan kepada mereka siksa, yang sekiranya mereka berdoa dengan doa seperti orang yang akan tenggelam, Tuhan tidak akan mengijabah doa mereka."

Doa orang yang beramal dengan Riya tidak akan diijabah Tuhan. Yang paling berat, orang yang melakukan Riya akan kehilangan seluruh amalnya di hari kiamat nanti. Pada hari kiamat, orang yang Riya akan dipanggil Allah dengan empat gelaran, "Yâ ghâdir, yâ fâjir, yâ khâsyir, yâ fâsiq. Hai si penipu, si durhaka, si perugi, si fasik!"

Sayidina Ali kw berkata, "Ada tiga tanda orang yang Riya. Dia sangat rajin beribadat bila ada orang yang melihatnya, dia malas bila sendirian, dan dia sangat senang jika dipuji dalam urusannya."

Kiat Melakukan Riya

Berikut ini akan ditunjukkan kiat-kiat untuk melakukan Riya. Hal ini dilakukan untuk mendiagnosa diri kita apakah telah jatuh ke dalam Riya atau tidak. Menurut Al-Ghazali, Riya dilakukan dengan menggunakan lima hal. Pertama, dengan menggunakan tubuh kita. Kita bisa menampakkan kesalehan dengan mereka-yasa tubuh kita. Al-Ghazali mencontohkan tubuh orang yang dikuruskan untuk menun-jukkan bahwa orang itu berpuasa setiap hari, atau orang yang menampakkan bekas sujud di dahinya (yang ia buat dengan menggosok-gosokkan dahinya ke tempat sujud) untuk menampakkan ketekunan dalam beribadat. Tentu saja, tidak semua orang yang kurus tubuhnya dan ada bekas di dahinya adalah orang yang Riya. Contoh lain adalah orang yang sengaja menggetarkan tubuhnya ketika shalat untuk menunjukkan betapa khusyunya orang itu dalam shalatnya.

Kedua, yang dipakai sebagai alat untuk Riya adalah pakaian atau penampilan lahiriah. Misalnya, di zaman dahulu orang memakai pakaian yang compang-camping untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang sufi. Pakaian yang ia pakai terbuat dari kain kasar untuk menunjukkan hidupnya yang sederhana. Bahkan ada orang yang dengan sengaja mengusutkan rambutnya dan menyimpan tanah di atasnya. Ia melakukan hal ini karena ia pernah mendengar sebuah hadis yang meriwayatkan Rasulullah saw ketika memasuki masjid dan menemukan orang yang rambutnya kusut dan tertutup debu. (Pada waktu itu, masjid Nabi tidak beratap sehingga orang yang banyak beribadat di masjid, rambutnya akan tertutupi debu yang terbawa angin padang pasir.) Melihat orang itu, Rasulullah saw bersabda, "Ada orang yang rambutnya kusut masai dan tertutup debu. Sekiranya dia berdoa, Tuhan akan mengijabah doanya." Tanda untuk menampakkan kesalehan yang lain adalah dengan memakai serban, membawa tasbih, dan memakai baju khusus. Sekali lagi, tidak semua orang yang memakai pakaian seperti itu adalah orang yang Riya.

Ketiga,Riya dilakukan dengan ucapan atau perkataan. Ada orang yang mengatur pembicaraannya supaya ia dikenal orang sebagai santri. Ia selalu mengutip ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi. Ia tampakkan kesalehan itu dengan mengeluarkan kata-kata suci dari bibirnya.

Keempat,orang melakukan Riya dengan perbuatan atau perilaku. Misalnya orang yang salat dengan memanjangkan ruku dan sujudnya untuk menampakkan kekhusyuan. Ketika ia mengimami orang banyak, ia baca surat yang panjang sementara ketika ia salat sendirian, ia baca surat yang pendek. Ia meng-hapalkan surat-surat yang panjang hanya untuk dipertunjukkan kepada orang lain. Amal itu ia pergunakan untuk menimbulkan kesan kesalehan. Menampakkan kesalehan melalui ibadat-ibadat ritual adalah hal yang mudah. Tapi bila Riya itu ditampakkan melalui sedekah atau membantu orang lain adalah hal yang sulit, karena hal itu memerlukan pengorbanan.

Kelima, orang melakukan Riya dengan menunjukkan kawan-kawannya atau orang-orang saleh yang ia kenal. Di dalam Psikologi Sosial ada yang dinamakan dengan Gilt by Association, artinya 'cemerlang' karena hubungan baik. Maksudnya, agar seseorang dikenal sebagai orang yang hebat atau orang yang mulia, ia ceritakan sahabat-sahabatnya. Ia suka menceritakan hubungannya dengan orang-orang yang terkenal.

Satu hal yang penting, tidak semua perbuatan kita untuk mengatur perilaku kita adalah Riya. Bila kita atur penampakkan lahiriah kita untuk, misalnya, memberikan contoh yang baik kepada orang lain; supaya orang lain mengikuti teladan kita, maka hal itu bukanlah Riya. Riya tidak diukur dari kelihatan atau tidaknya sebuah amal tapi diukur dari tujuan amal itu dilakukan.

Riya jangan digunakan untuk menilai orang lain tapi gunakan untuk menilai diri sendiri.

Riya dan Hubbul Jâh

Kalau kita merekayasa perilaku kita dengan maksud agar orang lain menganggap kita orang terhormat, pintar, atau kaya, hal itu tidak disebut dengan Riya. Perilaku seperti itu, bila sedikit dilakukan, tidak apa-apa. Tetapi bila dilakukan berlebihan, maka hal itu disebut hubbul jâh, kecintaan kepada penghormatan. Itu merupakan dosa.

Orang yang jatuh kepada hubbul jâh selalu ingin agar dirinya diperlakukan istimewa. Berikut salah satu contoh di antaranya: Apabila seseorang berusaha menampilkan dirinya begitu rupa sehingga orang menilainya sebagai eksekutif yang berkelas (misalnya dengan memakai pakaian mahal yang didesain khusus dan parfum dari luar negeri, yang ia beli bukan atas alasan praktis melainkan alasan gengsi), maka ia tidak memiliki penyakit Riya melainkan penyakit hubbul jâh, kecintaan akan peng-hormatan.

Seorang muslim terlarang untuk ber-usaha mencari penghormatan dari manusia. Dia harus berusaha mencari penghormatan dari Allah swt. Kalau perlu, dia rela menanggung kemarahan dari makhluk, asalkan mendapat rida dari khalik. Orang yang menderita hubbul jâh, malah bersedia menanggung resiko dibenci Tuhan asal disukai orang banyak.

Seorang Riya mengatur perilakunya dalam ibadat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan maksud agar orang menilai dirinya sebagai orang saleh yang taat beragama dan berpegang teguh kepada Al-Quran dan hadis Nabi. Orang seperti ini tidak ingin disebut sebagai orang yang hebat, berkedudukan tinggi, berpangkat, atau orang yang kaya. Dia hanya ingin dinilai orang sebagai orang yang saleh. Untuk itu dia merekayasa perilakunya.


Perbedaan Riya dengan yang bukan Riya adalah amat tipis. Semua itu terpulang kepada hati nurani masing-masing. Ada orang yang berusaha memakai busana muslim misalnya peci, untuk menunjukkan bahwa dia orang alim tapi ada juga orang yang memakai peci, untuk menutupi rambutnya yang menipis.

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Para Ayah, Di Manakah Kalian?