KEBER-AGAMA-AN SEJATI

Kh. Jalaluddin Rakhmat


Dalam Kitab Matsnawi, Jalaluddin Rumi bercerita: Dahulu, ada seorang muadzin bersuara jelek di sebuah negeri kafir. Ia memanggil orang untuk shalat. Banyak orang memberi nasihat kepadanya: "Janganlah kamu memanggil orang untuk shalat. Kita tinggal di negeri yang mayoritas bukan beragama Islam. Bukan tidak mungkin suara kamu akan menyebabkan terjadinya kerusuhan dan pertengkaran antara kita dengan orang-orang kafir." Tetapi muadzin itu menolak nasihat banyak orang. Ia merasa bahagia dengan melantunkan adzannya yang tidak bagus itu di negeri orang kafir. Ia merasa mendapat kehormatan untuk memanggil shalat di satu negeri di mana orang tak pernah shalat.

Sementara orang-orang Islam mengkuatirkan dampak adzan dia yang kurang baik, seorang kafir datang kepada mereka suatu pagi. Dia membawa jubah, lilin, dan manis-manisan. Orang kafir itu mendatangi jemaah kaum muslimin dengan sikap yang bersahabat. Berulang-ulang dia bertanya, "Katakan kepadaku di mana Sang Muadzin itu? Tunjukan padaku siapa dia, Muadzin yang suaranya dan teriakannya selalu menambah kebahagiaan hatiku?" "Kebahagiaan apa yang kau peroleh dari suara muadzin yang jelek itu?" seorang muslim bertanya.

Lalu orang kafir itu bercerita, "Suara muadzin itu menembus ke gereja, tempat kami tinggal. Aku mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik dan berakhlak mulia. Ia berkeinginan sekali untuk menikahi seorang mukmin yang sejati. Ia mempelajari agama dan tampaknya tertarik untuk masuk Islam. Kecintaan kepada iman sudah tumbuh dalam hatinya. Aku tersiksa, gelisah, dan terus menerus dilanda kerisauan memikirkan anak gadisku itu. Aku kuatir dia akan masuk Islam. Dan aku tahu tidak ada obat yang dapat menyembuhkan dia. Sampai satu saat anak perempuanku mendengar suara adzan itu. Ia bertanya, "Apa suara yang tidak enak ini? Suara ini mengganggu telingaku. Belum pernah dalam hidupku aku mendengar suara sejelek itu di tempat-tempat ibadat atau gereja." Saudara perempuannya menjawab, "Suara itu namanya adzan, panggilan untuk beribadat bagi orang-orang Islam. Adzan adalah ucapan utama dari seorang yang beriman." Ia hampir tidak mempercayainya. Dia bertanya kepadaku, "Bapak, apakah betul suara yang jelek itu adalah suara untuk memanggil orang sembahyang?" Ketika ia sudah diyakinkan bahwa betul suara itu adalah suara adzan, wajahnya berubah pucat pasi. Dalam hatinya tersimpan kebencian kepada Islam. Begitu aku menyaksikan perubahan itu, aku merasa dilepaskan dari segala kecemasan dan penderitaan. Tadi malam aku tidur dengan nyenyak. Dan kenikmatan serta kesenangan yang kuperoleh tidak lain karena suara adzan yang dikumandangkan muadzin itu."

Orang kafir itu melanjutkan, "Betapa besar rasa terima kasih saya padanya. Bawalah saya kepada muadzin itu. Aku akan memberikan seluruh hadiah ini." Ketika orang kafir itu bertemu dengan si muadzin itu, ia berkata, "Terimalah hadiah ini karena kau telah menjadi pelindung dan juru selamatku. Berkat kebaikan yang telah kau lakukan, kini aku terlepas dari penderitaan. Sekiranya aku memiliki kekayaan dan harta benda yang banyak, akan kuisi mulutmu dengan emas."

Jalaluddin Rumi mengajarkan kepada kita sebuah cerita yang berisi parodi atau sebuah sindiran yang sangat halus. Adzan yang dilantunkan dengan buruk dapat menghalangi orang untuk masuk Islam. Dari cerita di atas kita tahu keberagamaan yang dimaksudkan untuk membawa orang kepada agama berubah menjadi sesuatu yang menghalangi orang untuk memasuki agama.

Dengarlah nasihat Jalaluddin Rumi setelah ia bercerita tentang itu. "Keimanan kamu wahai muslim, hanyalah kemunafikan dan kepalsuan. Seperti ajakan tentang adzan itu, yang alih-alih membawa orang ke jalan yang lurus, malah mencegah orang dari jalan kebenaran. Betapa banyak penyesalan masuk ke dalam hatiku dan betapa banyaknya kekaguman karena iman dan ketulusan Bayazid Al-Bustami." (Bayazid adalah seorang tokoh sufi yang merintis jalan kesucian dan memberikan kepada Tuhan seluruh ketulusan imannya. -red)

Dengan itu sebetulnya Rumi ingin membedakan adanya dua macam keberagamaan atau dua macam kesalehan. Kesalehan yang pertama adalah kesalehan polesan. Orang meletakkan nilai pada segi-segi lahiriah. Orang meletakkan kemuliaan pada pelaksanaan secara harfiah terhadap teks-teks syariat. Seperti orang yang beradzan, ia merasa adzannya betul-betul melaksanakan perintah agama. Karena adzan itu, seperti disebutkan dalam hadis, adalah satu kewajiban yang mulia. Dengan berpegang pada teks-teks itu, maka orang berlomba-lomba untuk melakukan adzan. Tetapi karena yang mereka ambil hanya bungkusnya dan melupakan hakikatnya, yang terjadi adalah kebalikan dari apa yang dimaksudkan. Adzan dimaksudkan untuk memanggil orang untuk shalat tetapi dalam cerita di atas, adzan telah berubah menjadi suatu alat untuk menjauhkan orang dari shalat. Adzan tidak lagi menyeru orang untuk beribadah tapi adzan telah menjauhkan orang dari ibadah kepada Allah swt. Itulah keberagamaan jenis pertama, keberagaman muadzin bersuara buruk. Keberagamaan seseorang yang berpegang teguh kepada teks-teks syariat lalu melupakan maksud yang sebenarnya dari ajaran agama.

Keberagamaan yang kedua, adalah keberagamaan Bayazid Al-Bustami. Keberagamaan ini menekankan pentingnya memelihara lahiriah agama dengan tidak melupakan segi-segi batiniah dan tujuan-tujuan keberagamaan itu. Inilah keimanan yang tulus seperti keimanan Bayazid Al-Bustami. Tentang Bayazid, Rumi menulis puisi:

Setetes saja dari iman Bayazid masuk ke dalam lautan

Seluruh lautan akan tenggelam dalam tetesan iman

Jika sepercik api dari keimanan Bayazid jatuh di tengah hutan

Seluruh hutan akan hilang karena percikan iman

Sebuah bintang muncul dalam diri Muhammad

Sehingga seluruh kepercayaan Majusi dan Yahudi menjadi punah

Jalaluddin Rumi mengingatkan kepada kita bahwa keberagamaan yang tulus, betapa pun kecilnya, mampu mengubah dunia. Dan keberagamaan yang tidak tulus, betapa pun besarnya, tidak berdampak apa-apa kecuali hanya menjauhkan orang dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Kita memerlukan Islam yang tampil dengan wajah yang ramah. Keterikatan pada bentuk-bentuk lahiriah yang terlalu setia dengan mengabaikan inti dari ajaran Islam bisa jadi akan menghambat ajakan kita pada orang-orang untuk kembali kepada Islam. Bukankah kita sering menemukan orang-orang yang berdakwah dan memanggil orang kepada Islam, tetapi yang mereka teriakan adalah hal-hal yang membuat orang makin menjauh dari Islam. Orang-orang yang datang untuk mencari ilmu dalam sebuah majlis taklim, disirami mereka dengan kecaman dan ejekan dengan suara-suara keras yang menjauhkan kecintaan mereka kepada agama.

Yang kita perlukan sekarang adalah suatu keberagamaan yang tulus, betapa pun kecilnya. Yang kita perlukan sekarang adalah satu tetes saja dari keimanan Bayazid Al-Bustami. Satu tetes yang tulus yang membawa orang kembali kepada Allah swt.

Marilah kita berusaha untuk mencari rahasia dari setiap ibadah yang kita lakukan. Tulisan ini saya akhiri dengan catatan singkat; keimanan yang sebenarnya adalah keimanan yang dapat menarik semua orang ke haribaan Islam. Apa pun bentuknya.

Seorang sahabat Imam Ali kw bernama Hammam, yang dikenal sebagai seorang ahli ibadah, suatu saat bertanya kepada Imam Ali, "Wahai Amiral Mukminin, gambarkanlah kepadaku sifat-sifat kaum Muttaqin, sehingga aku seolah-olah memandang kepada mereka."

Imam Ali terdiam sejenak. Ia segan memenuhi permintaan Hammam. Tapi setelah itu ia menjawab, "Wahai Hammam, bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan berbuat baik."

Mendengar jawaban Imam Ali kw, Hammam belum merasa puas. Ia mendesak sekali lagi sehingga Imam Ali kw memenuhi permintaannya itu. Setelah Imam mengucapkan pujian bagi Allah swt dan shalawat kepada Muhammad saw, ia berkata, "Sesungguhnya ketika Allah swt menciptakan makhluk-Nya, ia menciptakan mereka dalam keadaan tidak butuh akan ketaatan dan tidak cemas akan pembangkangan mereka. Maksiat apa pun yang dilakukan orang, takkan menimbulkan suatu mudharat bagi-Nya. Sebagaimana ketaatan orang kepada-Nya, juga takkan mendatangkan manfaat sedikit pun kepada-Nya. Dialah yang membagikan segala kebutuhan kehidupan mereka. Dia pula lah yang meletakkan masing-masing di antara mereka pada tempat di dunia ini. Maka orang-orang yang bertakwa, merekalah manusia-manusia bijak bestari. Kebenaran merupakan inti ucapan mereka. Kesederhanaan adalah pakaian mereka dan kerendahan hati mengiringi gerak-gerik mereka.

Mereka menundukkan pandangan terhadap segala yang diharamkan oleh Allah. Mereka gunakan pendengaran hanya untuk mendengarkan ilmu yang berguna. Jiwa mereka selalu dipenuhi ketenangan dalam menghadapi cobaan. Sama halnya ketika mereka menerima kenikmatan.

Dan sekiranya bukan kepastian ajal yang telah ditetapkan, niscaya ruh mereka tidak akan tinggal diam dalam jasad-jasad mereka walau hanya sekejap, baik disebabkan kerinduannya kepada pahala Allah atau ketakutannya akan hukuman Allah.

Begitu agungnya Sang Pencipta dalam hati mereka sehingga apa saja selain Dia, menjadi kecil dalam pandangannya. Begitu kuat keyakinan mereka tentang surga sehingga mereka merasakan kenikmatannya dan seolah-oleh telah melihatnya. Dan begitu kuat keyakinan mereka tentang neraka sehingga mereka merasakan azabnya seakan telah menyaksikannya.

Hati mereka selalu dipenuhi kekhusyuan. Tak pernah orang mengkhawatirkan suatu gangguan dari mereka. Tubuh-tubuh mereka kurus kering. Kebutuhan-kebutuhan mereka amat sedikit. Jiwa mereka terjauhkan dari segala yang kurang patut. (Mereka kurus kering karena terlalu seringnya berpuasa dan selalu prihatin karena besarnya tanggung jawab terhadap Allah dan makhluk-Nya.)

Mereka bersabar untuk beberapa saat dan memperoleh kesenangan abadi sebagai pengganti. Itulah perdagangan yang sangat menguntungkan dan Allah memudahkan untuk mereka. dunia menghendaki mereka namun mereka tidak menghendakinya. Ia menjadikan mereka sebagai tawanan, namun mereka berhasil menebus diri dan terlepas dari cengkeramannya.

Di malam hari, mereka merapatkan kaki menghabiskan sepanjang malamnya untuk bersujud kepada-Nya, seraya membaca bagian-bagian Al-Quran dengan memperindah bacaannya. Merawankan hati mereka dengannya seraya membangkitkan penawar bagi segala yang mereka derita. Setiap kali menjumpai ayat pemberi harapan, tertariklah hati mereka mendambakannya, seakan surga telah berada di hadapan mata. Dan bila melewati ayat pembawa ancaman, mereka hadapkan seluruh pendengaran hati kepadanya seakan desir jahanam dan gelegaknya bersemayam dalam dasar telinga mereka. mereka senantiasa membungkukkan punggung, meletakkan dahi dan telapak tangan, merapatkan lutut dan ujung kaki dengan tanah, memohon beriba agar dibebaskan dari murka-Nya.

Adapun di siang hari, merekalah orang-orang yang penuh dengan kemurahan hati. Berilmu, berbakti, dan bertakwa. Ketakutan kepada Allah membuat mereka kurus kering. Setiap orang yang memandang, pasti mengira mereka sedang sakit. Padahal, tiada satu penyakit yang mereka derita. Dikira akalnya tersentuh rasukan setan padahal mereka tersentuh urusan lain yang sangat besar, yakni ketakutan akan kemurkaan Allah dan kedahsyatan hari akhir.

Mereka tak pernah merasa senang dengan amal yang sedikit dan tak pernah puas dengan amal yang banyak. Mereka selalu mencurigai dirinya dan selalu mencemaskan amal pengabdian yang mereka kerjakan. Bila mereka memperoleh pujian, mereka menjadi takut akan apa yang dikatakan orang tentang mereka. Lalu mereka segera berkata, "Kami lebih mengerti akan diri kami sendiri dan Tuhan kami lebih mengerti akan hal itu daripada kami. Ya Allah, jangan kau hukum kami disebabkan oleh apa yang mereka katakan tentang diri kami. Jadikanlah kami lebih baik dari yang mereka dan ampunilah kami dari segala sesuatu yang mereka tak ketahui."

Tanda-tanda yang tampak dari diri mereka adalah keteguhan dalam beragama, ketegasan yang bercampur dengan kelunakan, keyakinan dalam keimanan, kecintaan yang utama kepada ilmu, kepandaian dalam keluhuran hati, kesederhanaan dalam kekayaan, kekhusyuan dalam ibadah, ketabahan dalam kekurangan, kesabaran dalam kesulitan, kesungguhan dalam mencari yang hal, kegesitan dalam kebenaran, dan menjaga diri dari segala sikap tamak.

Mereka mengerjakan amal-amal saleh namun hatinya tetap cemas. Sore hari dipenuhinya dengan syukur. Pagi hari dilewatinya dengan syukur. Semalaman dalam kekhawatiran dan keesokan harinya bergembira, khawatir akan akibat kelalaian dan gembira disebabkan karunia serta rahmat yang diperolehnya. Bila hati seorang dari mereka mengelak dari ketaatan kepada Allah, dan ia merasakan beban yang berat, mereka pun menolak memberi sesuatu yang menjadi keinginannya.

Kepuasan jiwanya terpusat pada sesuatu yang tak akan punah dan penolakannya tertuju pada sesuatu yang akan segera hilang. Baginya yang tak akan punah adalah akhirat dan yang akan segera hilang adalah dunia.

Dicampurkannya kemurahan hati dengan ilmu, disatukannya ucapan dengan perbuatan. Dekat cita-citanya, sedikit kesalahannya, khusyu hatinya, mudah terpuaskan jiwanya, sederhana makanannya, bersahaja urusannya, kukuh agamanya, terkendali nafsunya, bertahan emosinya. Kebaikannya selalu dapat diharapkan, gangguannya tak pernah dikhawatirkan.

Bila bersama orang-orang lalai, ia tak pernah lupa mengingat Tuhannya. Dan bila bersama orang-orang yang mengingat Tuhan, ia tak pernah lalai. Ia selalu berzikir dalam hatinya meskipun ia berada di tengah orang yang lalai atau pun mereka yang mengucapkan zikir meskipun hati mereka lalai.

Mereka memaafkan siapa pun yang menzaliminya, memberi siapa pun yang menolak memberinya, menghubungi siapa pun yang memutuskan hubungan dengannya. Mereka jauh dari perkataan keji, lemah lembut ucapannya, tak pernah terlihat kemungkarannya, dan selalu hadir kebaikannya. Dekat sekali kebaikannya dan jauh sekali keburukannya.

Mereka selalu tenang dalam walaupun dalam bencana yang mengguncang, sabar dalam menghadapi kesulitan, bersyukur dalam kemakmuran, pantang berbuat aniaya, meskipun terhadap mereka yang dibenci. Mereka tak bersedia berbuat dosa walaupun itu demi menyenangkan orang yang dicintainya. (Kecintaan kepada seseorang tak akan mendorongnya untuk berbuat maksiat.)

Mereka segera mengakui yang benar sebelum dihadapkan kepada kesaksian orang lain. Sekali-kali mereka tidak akan melalaikan segala sesuatu yang diamanatkan kepadanya, atau memanggil seseorang dengan julukan yang tidak disenangi, atau mendatangkan gangguan bagi tetangga, atau pun bergembira dengan bencana yang menimpa lawan. Mereka tidak akan masuk kepada kebatilan dan tidak akan keluar dari kebenaran.

Bila berdiam diri, mereka tidak merasa risau karenanya. Bila tertawa, suara mereka tak terdengar meninggi. Bila terlanggar haknya, ia tetap bersabar, sehingga Allahlah yang membalas baginya. Dirinya kelelahan menghadapi ulahnya sendiri sedangkan manusia lainnya tak pernah terganggu sedikit pun olehnya. Ia melelahkan dirinya sendiri demi akhiratnya dan menyelamatkan manusia sekitarnya dari gangguan dirinya.

Kejauhan dari siapa yang menjauhinya disebabkan oleh zuhud dan kebersihan jiwa. Kedekatannya pada siapa yang didekatinya disebabkan oleh kelembutan hati dan kasih sayangnya. Bukan karena keangkuhan dan pengagungan dirinya dan bukan karena kelicikan dan tipu muslihat…."

Ketika Imam Ali kw sampai di bagian ini, Hammam yang mendengarkan ucapan Imam Ali dengan khusyu tiba-tiba jatuh pingsan sehingga Imam Ali berkata, "Sungguh Demi Allah, sejak pertama aku sudah khawatir, hal ini akan menimpa atasnya." Lalu Imam bertanya, "Beginikah akibat yang ditimbulkan oleh nasihat-nasihat yang mendalam pada hati yang rawan?"

(Disadur dari Kitab Mutiara Nahjul Balaghah)

Alkisah, seorang petani berniat menjual sekarung gandum ke pasar. Ketika karung gandum itu dimuatkan ke punggung untanya, karung itu selalu terjatuh. Setelah berpikir keras, ia mengisi satu karung lagi dengan pasir. Ia merasa bahagia karena telah menemukan pemecahan yang menakjubkan. Dalam keadaan setimbang, kedua karung itu bertengger di punggung untanya. Satu karung berisi gandum dan satu lagi berisi pasir. Di pertengahan jalan, ia berjumpa dengan seseorang yang tampak miskin. Tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh, dan tidak bersepatu. Ketika petani itu duduk bersamanya untuk beristirahat, ia mendapati ternyata orang miskin itu sangat bijak. Kawan miskin ini mengetahui banyak hal. Ia mengenal tokoh-tokoh besar, kota-kota besar, dan gagasan-gagasan besar. Tidak henti-hentinya petani itu takjub dengan kepintarannya.

Si fakir menanyakan apa yang dibawa oleh untanya. Petani menjawab, "Aku membawa satu karung berisi gandum dan satu karung berisi pasir." Orang bijak itu tertawa, "Mengapa tidak Anda bagi gandum itu dan menyimpannya dalam dua karung, masing-masing setengahnya. Dengan cara begitu, unta Anda akan berjalan lebih cepat dan Anda tidak membawa barang yang sia-sia." Petani makin kagum. Ia tidak pernah sampai pada pikiran secemerlang itu. Tiba-tiba ia menyadari keadaan si bijak. Petani itu menanyakan apakah ia punya pekerjaan. Ia melihat si bijak yang cerdas itu berpakaian lusuh, tidak bersepatu, dan bertubuh kurus. "Aku tidak punya sepatu, rumah, atau pekerjaan," jawab si bijak, "bahkan untuk makan malam pun, aku tidak tahu apakah aku bisa memperolehnya."

Kekaguman petani berubah menjadi keheranan yang luar biasa. "Lalu apa yang Anda peroleh dari semua pengetahuan dan kecerdasan Anda?" tanya petani. "Saya hanya memperoleh sakit kepala dan khayalan hampa," jawab si bijak.

Petani itu melepaskan tali untanya. Seraya beranjak pergi, Ia berkata, "Pergilah menjauh dariku! Aku kuatir kemalanganmu berpindah kepadaku. Aku bodoh karena mengisi sekarung gandum dan sekarung pasir untuk penyeimbang. Tapi ketololanku memberikan kehidupan kepadaku."

Cerita ini adalah cerita Jalaluddin Rumi dalam kitab Matsnawi. Kisah ini memberi pelajaran berharga untuk kita. Seperti orang bijak dalam cerita Rumi, kita berusaha mengumpulkan ilmu pengetahuan, tapi pengetahuan kita tidak memberi manfaat dalam kehidupan. Salah satu bencana yang diderita manusia modern adalah mereka mempelajari satu bagian dari ilmu pengetahuan terus menerus sehingga mereka mengetahui banyak hal tentang sesuatu yang sedikit. They know more and more about less and less.

Ada orang yang menghabiskan separuh dari usianya hanya untuk mempelajari cara bagaimana membuat jembatan gigi. Ada juga yang memperoleh gelar doktor hanya karena mengamati satu peristiwa kecil dari seluruh alam semesta ini. Makin lama, pengetahuan yang kita pelajari menyebabkan kita kehilangan pandangan tentang keseluruhan.

Dalam kisah Rumi, orang-orang yang belajar ilmu yang banyak tapi tidak menemukan makna kehidupan, sama seperti si pintar di pinggir jalan. Ia bisa memberikan nasihat kepada petani tentang pemecahan hal yang sepele tapi ia tidak mampu memberikan jawaban atas masalah kehidupan yang dihadapinya.

Banyak orang belajar agama. Mereka menghabiskan waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Tidak jarang mereka terjebak di dalam ilmu-ilmu yang spesifik sehingga ilmunya menyebabkan dia tidak menjadi lebih dekat dengan Allah swt. Ada yang sibuk mempelajari cara-cara shalat dan memberikan perhatian yang amat besar untuk itu sehingga ia menilai orang-orang di sekitarnya dari cara shalat mereka. Padahal agama bukan hanya mengajarkan cara-cara shalat. Agama adalah seluruh kehidupan ini.

Ada juga orang yang tenggelam di dalam keasyikannya mempelajari ilmu tertentu dan dia kehilangan cara untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Dia hidup di dunia impian. Boleh jadi mereka memelihara khayalan-khayalan hampa mereka dalam kesendirian, tapi kemudian mereka dikecewakan oleh kenyataan. Orang-orang seperti itu adalah si bijak dalam cerita Rumi yang terkatung-katung di pinggir jalan, tanpa sepatu dan pekerjaan. Ia memiliki banyak pengetahuan tapi ia kehilangan kebijaksanaan. Ia memiliki knowledge tapi tak memiliki wisdom.

Nabi Muhammad saw bersabda: Ilmu itu ada dua macam. Ada ilmu yang hanya berada pada lidah. Itulah ilmu yang bisa kita pakai untuk berdebat dengan sesama manusia. Ada juga ilmu yang berada pada hati. Dan itulah ilmu yang bermanfaat. Tasawuf ingin membawa Anda pada ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang terbit dari ketulusan hati nurani kita.

Rumi mengakhiri cerita si bijak dengan sebuah puisi indah. Ia memberikan nasihat kepada kita semua:

Jika kau ingin derita benar-benar hilang dari hidupmu

Berjuanglah untuk melepaskan kebijakan dari kepalamu

Kebijakan yang lahir dari tabiat insani

Tak menarik kamu lebih dari khayalan

Karena kebijakan itu tidak mendapat berkat

Yang mengalir dari cahaya kemuliaan Tuhan

Pengetahuanmu tentang dunia

Hanya memberikan dugaan dan keraguan

Pengetahuanmu tentang Dia, kebijakan ruhani sejati

Akan membuatmu naik ke atas dunia ini

Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan semua pengorbanan diri dan kerendahan hati

Mereka sembunyikan hati dalam kecerdikan dan permainan bahasa

Raja sejati adalah dia yang menguasai pikirannya

Bukan dia yang pikirannya menguasai dunia dan dirinya

Seorang ilmuwan sejati adalah seorang yang menerbitkan kebijakan-kebijakan lewat ketulusan hatinya. Nabi saw bersabda: Barang siapa mengikhlaskan hatinya selama empat puluh hari, kebijakan akan memancar dari mulutnya.

Di dalam tasawuf kita belajar bahwa di samping ilmu yang kita peroleh secara empiris atau melalui pengajaran guru-guru kita, ada juga ilmu yang Allah berikan langsung kepada mereka yang memberikan hati mereka sepenuhnya untuk Tuhan. Mereka yang mengosongkan dari hatinya segala apa pun selain Tuhan. Karena itu, di dalam salah satu hadis Nabi saw yang terkenal, Nabi menyebutkan: Di dunia ini ada sekelompok hamba Allah yang menjadi lemari-lemari penyimpan kebijakan Tuhan. Orang-orang itu adalah orang-orang yang mengikhlaskan hati setulus-tulusnya untuk Allah swt. Merekalah yang memperoleh pengetahuan tidak melalui otak-atik otak, tapi melalui pembersihan hati. Ke sanalah kita semua berharap untuk menuju.

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang