Memenuhi Panggilan Syurga

Mati syahid merupakan cita-cita tertinggi umat Islam. Salah satu jalan menuju mati syahid adalah berjuang di jalan Allah. Seorang sahabat Rasulullah SAW, Khaisamah, suatu malam bermimpi melihat putranya bermain dan bersuka-ria di sebuah taman indah di dalam syurga. Anak kesayangannya yang gugur di medan Perang Badar itu pun melihat sang ayah seraya berkata, "Ayah! Ananda di sini sekarang. Rupanya janji Allah telah terlaksana dengan benar pada diri ananda. Mari Ayah, marilah ikuti ananda!". Saat bangun, Khaisamah tersentak. Hatinya gelisah. Kemudian ia datang menghadap Rasulullah SAW.

Umat Islam saat itu tengah bersiap menghadapi serangan kaum kafir Quraisy di Bukit Uhud. Khaisamah memohon agar ia dimasukkan ke dalam daftar pasukan Islam untuk pergi berperang ke Bukit Uhud. "Ya Rasulullah! Aku telah tua, tulangku telah mulai rapuh, dan aku ingin sekali menjumpai Tuhanku," katanya memberi argumentasi. "Bawalah aku serta, ya Rasulullah, dan doakan agar aku pun mendapat syuhada sebagaimana anakku dan hidup bersamanya di syurga". Dengan rasa terharu, Rasulullah SAW mengangkatkan tangannya, mendoakan Khaisamah agar permohonannya yang tulus dan ikhlas itu terkabul.

Maka, berperanglah Khaisamah yang telah tua renta itu dengan gagah berani hingga ia mencapai apa yang diinginkannya: mendapat syuhada atau mati syahid. Mati syahid merupakan cita-cita tertinggi umat Islam. Dalam cita-cita itu, terkandung tekad kuat untuk berjuang di jalan Allah, membela agama dan umat Islam, karena salah satu jalan menuju mati syahid adalah berjuang di jalan Allah. Secara harfiyah, syahid (jamak: syuhada) artinya hadir, datang, atau kesaksian. Hadir di tengah perjuangan fi sabilillah, datang memenuhi panggilan jihad dan dakwah, dan Allah dan para malaikatnya menyaksikan perjuangan dan kematian seorang pejuang yang dijamin masuk syurga tanpa hisab.

Menurut istilah, syahid artinya berperang atau berjuang di jalan Allah membela kebenaran atau mempertahankan hak dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk menegakkan agama Allah. Rasulullah SAW bersabda: "Siapa yang berjuang (dan mati) karena (mempertahankan) hartanya, darahnya, agamanya, dan keluarganya, maka ia mati syahid" (HR. Bukhari-Muslim). Hadis tersebut menjelaskan, siapa yang berjuang membela harta miliknya, jiwanya, keluarganya, agamanya, dan meninggal dalam perjuangannya itu, maka ia meninggal fi sabilillah atau mati syahid (QS. An-Nabaa': 3/I/1992:33). Allah SWT berfirman, Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah melampaui batas karena Allah sesungguhnya tidak menyukai orang-orang yang melampuai batas (QS. 2: 190).

Sebaliknya, orang yang berjuang bukan karena Allah, tidak membela yang benar, dan tidak ikhlas, tapi karena popularitas, pujian, dan kedudukan, maka tidak tergolong syahid. Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, "Seseorang yang berperang karena harta rampasan, ingin disebut-sebut (sebagai pahlawan), dan karena ingin melihat kedudukannya, maka siapa (di antara mereka) yang fi sabilillah?" Rasulullah SAW menjawab, "Siapa yang berjuang agar kalimat Allah menjadi tinggi, maka dia berjuang di jalan Allah" (HR. Bukhari). Bahkan dalam dakwah sekalipun, jika terselip perasaan riya' (ingin dipuji) atau motivasi selain kepada Allah SWT, maka ia tidak termasuk berjuang fi sabilillah.

Seseorang bisa saja mengaku berjihad dan berdakwah, namun dalam hatinya terselip niat selain pada Allah. Kalau ia meninggal dalam perjuangannya itu, maka menurut ahli fikih ia mati syahid secara lahiriah saja. Ada juga yang syahid akhirat saja, seperti orang yang terbunuh karena dianiaya bukan dalam peperangan atau tidak dalam keadaan berjuang di jalan Allah, juga yang mati tenggelam, terbakar, tergilas, dan sebagainya. Mati syahid dunia-akhirat adalah orang yang tewas dalam perjuangan atau peperangan membela Islam (An-Nabaa': 3/I/1992: 35). Mati syahid harus menjadi impian kaum Muslim. Pejuang Islam dari Mesir, Sayid Qutb, sempat mengucapkan kata-kata yang sangat populer hingga kini ketika ia berada di tiang gantungan rezim sekuler Mesir. Ia dihukum mati karena berjuang menegakkan syariat Islam.

Katanya, "Isy kariman au mut syahidan", hiduplah mulia atau mati syahid!. Kemuliaan hidup dan mati syahid hanya dapat digapai dengan satu jalan: berjuang di jalan Allah. Mengamalkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan merupakan perjuangan di jalan Allah. Pola dasar kehidupan seorang Muslim adalah siap berjuang mengorbankan jiwa, raga, dan harta untuk melaksanaan ibadah dan membela kehormatan agama dan umat Islam. Tenaga, pikiran, dan harta yang dimiliki semuanya dipersembahkan untuk berbakti kepada Allah. Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka.

Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh dan terbunuh (QS. 9: 111). Rasulullah SAW menjuluki orang yang berjuang dengan jiwa dan hartanya sebagai "manusia utama". Seorang sahabat bertanya: "Ya Rasulullah, siapa manusia yang lebih utama?" Rasul menjawab: "Orang mukmin yang jihad fi sabilillah dengan diri dan hartanya" (HR. Bukhari). Medan jihad bagi kaum Muslim sangat luas. Allah memberi kesempatan di berbagai bidang bagi kaum Muslim untuk berjuang fi sabilillah dan menggapai mati syahid.

Modal perjuangannya adalah tenaga, pikiran, dan harta benda yang diamanahkan Allah kepada mereka. Jika tenaga, pikiran, dan harta hanya digunakan untuk kepentingan pribadi, demi kepuasan diri sendiri saja, maka kita tidak hidup dalam kemuliaan dan jauh dari mati syahid. Na'udzubillah! Islam tidak cukup diimani, tapi juga harus diilmui (dipelajari dan dipahami), diamalkan, didakwahkan, dan dibela kemuliaan atau kehormatannya. Lalu, sudahkah kita berbuat sesuatu untuk membela kehormatan agama Allah? Sudah tertanamkah dalam diri kita cita-cita mati syahid dan berusaha menggapainya dengan berjuang di jalan Allah? Wallahu a'lam bish-shawab. ASM. Romli

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Para Ayah, Di Manakah Kalian?