Ketika Iwan Fals Teringat Galang

suaramerdeka.com - semata-mata fakta%21

Galang Rambu Anarki adalah nama yang terkenal bukan cuma karena ia anak Iwan Fals. Tapi juga karena inilah anak yang namanya dijadikan judul lagu oleh bapaknya. Anak yang meninggal muda, yang kelahirannya diceritakan oleh si bapak lahir awal Januari, menjelang pemilu dan harga BBM sedang membumbung tinggi pula. Dan anak yang ketika meninggal menimbulkan duka yang hebat bagi bapaknya. Salah satu duka yang sangat dikenang sang bapak ialah ketika Galang itu sering dimintanya pergi, dilarang mendekat dan mengganggu, ketika bapaknya tengah membuat lagu.



Sebuah keputusan yang sangat menganggu batin Iwan Fals kemudian dan keputusan yang amat ia sesali. Sebuah luka yang membuat ia berjanji, akan lebih punya waktu bagi anak-anaknya di hari ini. Saya berterima kasih atas keterusterangan Iwan Fals ini. Dan maaf, jika tulisan ini cuma akan membongkar kesedihannya kembali. Tapi jika Iwan rela duka cita itu saya ingatkan kembali, setidaknya akan bertambah lagi daftar orang tua yang tidak akan begitu saja menghardik anak-anak dari dekatnya.



Betapa anak-anak selalu ingin bercengkerama dengan orang tuanya. Ketika ia menggambar, ia ingin kita menilainya, mengaguminya. Ketika ia tengah bertengkar, lelah dan terlukai oleh teman-teman di sekolah, kita butuh berempati atas deritanya. Menghibur hatinya. Ketika ia butuh bermain, ia ingin kita menjadi teman sebayanya. Mereka ingin kita menjadi kuda tunggangan, menjadi monster jahat yang dia kalahkan, dan menjadi apa saja sebagai teman masa kecilnya.



Ketika ia bicara ia butuh kita untuk mendengarnya. Ketika ia melucu kita diperlukan untuk tertawa. Ketika ia mengadu kita diminta membelanya, ketika ia kolokan kita harus memanjakannya, ketika ia pamer kehebatan, kita harus memujanya. Anak-anak adalah raja di rumah kita. Ia tidak bisa menjadi nomor dua. Dan ketika kita, orang tua ini gagal jadi rakyatnya, gagal jadi hamba sahaya, ia akan menjadi anak yang terluka. Luka yang ia bawa hingga ke sekujur hidupnya dan akan menentukan mutu hidup dan matinya.



Tapi betapa berat untuk menjadi hamba sahaya bagi anak-anak kita karena kita sendiri juga adalah anak-anak dalam bentuk yang berbeda. Kita dan pekerjaan, adalah anak-anak dan kegelapan. Ketakutan kita akan kegagalan di masa depan, sama bentuknya dengan rasa takut anak-anak kepada kegelapan. Kita takut jika kesempatan ini hilang hanya karena terlalu banyak waktu yang terbuang. Ini fokus harus kencang di depan, seluruh harga harus dibayar di muka, seluruh gangguan produktivitas harus disingkirkan. Hidup adalah hari ini. Sekali harus berarti, meskipun esok harus mati.



Maka ketika istri butuh mendekat sekedar ingin bercengkerama, ketika anak-anak butuh memeluk hanya sekadar untuk bermanja-manja, kalau perlu kita harus menghardiknya. Bukan kita tak sayang keluarga, tapi karena mereka mendekat pada saat yang tidak tepat. Ketika kita sedang begini gentingnya berkonsentrasi pada pekerjaan. Sedang berdarah-darah menata hari depan, dan ini pun demi kepentingan mereka pula. Jadi demi hidup yang di depan, kita harus berani mengorbankan kebahagian hari ini, begitu tekat kita.



Dan benarlah. Banyak anak-anak terpaksa kehilangan kegembiraannya di hari ini, karena orang tua sibuk menata hari depan yang di sana. Banyak suami-istri lupa bermesraan karena mereka sibuk merancang kemesraan di hari depan. Sementara ketika masa depan itu benar-benar datang, anak-anak telah kepalang kehilangan masa kekanakannya. Ia telah menjadi pribadi yang kepalang luka dan tak bisa menarik waktu kanak-kanaknya kembali. Ada jenis masa depan yang kemudian menjadi berhala, karena ia meminta terlalu banyak tumbal kebahagiaan yang jelas-jelas sudah nyata ada di sini, di hari ini: anak-anak kita dan masa kanak-kanak mereka.



Prie GS


Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Para Ayah, Di Manakah Kalian?