- Seputar Kasus Monas -

- Seputar Kasus Monas

assalaamu'alaikum wr. wb.

 

Diberi judul 'seputar' karena memang isinya tidak berhubungan langsung dengan kasus Monas 1 Juni 2008 yang lalu.  Artikel ini hanya berisi pemikiran-pemikiran 'sampingan' yang muncul ketika mengamati kasus bentrokan tersebut, yang rasanya amat sayang kalau tidak dituangkan dan disampaikan ke orang banyak.

 

Intelektualitas Habib Rizieq

Terus terang, pada awalnya saya termasuk orang yang meremehkan intelektualitas beliau.  Kalau dipikir-pikir, hal-hal yang membuat saya meremehkan beliau muncul dari dua hal yang sangat mempengaruhi objektifitas, yaitu : (1) perbedaan yang sifatnya khilafiyah, dan (2) opini publik yang dibangun oleh media massa.

 

Sebagai contoh untuk poin yang pertama, sadar atau tidak, kita telah dilatih untuk tidak respect pada orang yang selalu mengenakan sorban dan gamis seperti beliau.  Reaksi pertama yang muncul dalam benak adalah, "Idih, memangnya wajib pake begituan?"  Memang tidak wajib, tapi juga tidak ada yang boleh melarang.  Di sini prasangka buruk kita sudah bergerak duluan.  Hanya karena Habib Rizieq selalu bergamis dan bersorban, bukan berarti beliau mewajibkannya, bukan?  Sementara Habib Rizieq tak pernah secara eksplisit mewajibkan gamis dan sorban, kita sudah lebih dulu menyalahkan gaya berpakaiannya.  Masalah memakai gamis dan sorban tidak pernah menyentuh urusan aqidah.  Karena itu, mana pun yang dipilih orang, tidak mesti mempengaruhi objektifitas kita dalam menilai seseorang.  Kalau merasa tidak wajib mengikuti gaya berpakaian Habib Rizieq, maka kita pun harus paham bahwa beliau pun tidak wajib mengikuti gaya berpakaian kita.

 

Poin kedua, yaitu mengenai opini yang dibangun oleh media massa, akan saya bahas secara terpisah.  Sabar, ya!

 

Citra Habib Rizieq di mata kita (termasuk saya juga dulu) adalah sebagai seorang ulama yang cenderung frontal, kadang ekstrem, dan kurang mampu mendidik anggotanya dengan benar.  Sudah barang tentu tidak ada kesan inteleknya sama sekali.  Tapi apa benar begitu?

 

Pandangan saya berubah total ketika membaca tulisannya di surat kabar Republika.  Pada tanggal 23 Mei 2008, Shamsir Ali, seorang pentolan dari Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), menulis sebuah pembelaan berjudul Ahmadiyah Menjawab.  Artikel yang nilai keilmiahannya sangat rendah ini kemudian ditanggapi oleh Dr. Syamsuddin Arif tiga hari kemudian dengan artikelnya yang berjudul Solusi Masalah Ahmadiyah, dilanjutkan dengan artikel Habib Rizieq pada tanggal 29 Mei yang diberi judul Lima Perkara Tolak Ahmadiyah.  Dr. Syamsuddin Arif adalah cendekiawan muda yang baru saja lulus kuliah dari 'sarang orientalis' di Jerman, namun telah menunjukkan komitmennya yang kuat terhadap Islam.  Yang mengherankan justru artikel Habib Rizieq yang ternyata nilai keilmiahannya sangat tinggi dan bisa menandingi artikel Dr. Syamsuddin Arif.

 

Selidik punya selidik, ternyata Habib Rizieq tidak hanya punya nama dalam dakwah praktisnya di FPI, melainkan juga dikenal luas di kalangan akademis.  Beliau pun rupanya cukup dikenal sebagai cendekiawan Muslim yang keilmuannya diakui.  Pada saat itulah saya insyaf akan subjektifitas saya yang telah dibangun oleh dua hal tadi.  Astaghfirullaah...

 

Diantara Dua Pilihan

Kebejatan era globalisasi-informasi adalah karena informasi dibiarkan bergerak 'liar' dan tak terkendali.  Siapa pun berhak jadi narasumber.  Siapa pun sama di hadapan pers.  Hal inilah yang bertentangan seratus persen dengan ajaran Islam.  Ketika Allah dan Rasul-Nya menyatakan bahwa semua manusia dibedakan menurut ketaqwaannya, maka hal itu seharusnya juga berimbas pada urusan informasi seperti ini.

 

Di jaman sekarang, banyak orang yang terlalu sombong untuk mempelajari ilmu-ilmu hadits.  Berkat sugesti yang ditanamkan oleh musuh-musuh Islam, muncul kesan bahwa tradisi ilmiah tidak ada kaitannya dengan para ulama.  Ulama hanya mengurusi urusan agama ; selain fiqih mereka tidak tahu apa-apa.  Padahal ilmu ushul fiqih itu bukan main rumitnya.  Ilmu hadits pun tidak sederhana sama sekali.  Sekarang ini saya temukan banyak sekali orang yang asal bicara, "Ah, hadits ini nggak shahih!" hanya karena ia tidak sependapat dengan redaksinya.  Padahal, Imam Bukhari sampai berkelana kesana kemari untuk melakukan jarh wa ta'dil.  Belum tahu jarh wa ta'dil?  Nah, itu pertanda Anda belum waktunya bicara soal keshahihan hadits.   :)

 

Kembali ke masalah kebebasan informasi, Islam telah memberikan koridor yang jelas untuk menerima informasi yang sampai ke telinga dan mata kita.  Tuntunannya jelas : kalau ada berita dari orang fasik, harus diperiksa baik-baik terlebih dahulu.  Jadi, jika kita mendengar berita dari si A, maka hal yang harus dilakukan adalah : (1) cek apakah si A ini orang fasik atau bukan, dan (2) jika fasik, maka beritanya harus diperiksa benar-benar.  Perhatikanlah bahwa kewajiban untuk mengecek berita dari orang-orang fasik tidak berarti bahwa berita-berita dari orang-orang yang tidak fasik tidak perlu dicek.  Hanya saja, orang-orang fasik mendapat 'perhatian khusus', karena mereka memang sangat patut untuk dicurigai.  Prinsip ini tidak boleh dibenturkan dengan prinsip husnuzhzhan, tentu saja.

 

Banyak yang mengeluh bahwa berita yang beredar sekarang ini – dalam kasus insiden Monas – sudah sangat simpang-siur, sehingga sulit sekali menentukan mana berita yang benar dan mana yang bohong belaka.  Di sini kita perlu kembali pada tuntunan Al-Qur'an.  Flowchart berpikirnya harus diawali dengan menilai kredibilitas sumber beritanya, baru menentukan sikap terhadap berita yang kita terima.  Tidak boleh melangkah ke tahap kedua sebelum menyelesaikan tahap pertama.

 

Untuk itu, kita harus menilai kedua belah pihak yang bersengketa, dalam hal ini adalah FPI dan AKKBB.  Kita telah cukup mengenal pihak FPI, karena media massa terus-menerus menyoroti mereka.  Bagaimana dengan AKKBB?  Di balik nama itu terdapat nama-nama seperti Gus Dur, Syafii Maarif, Guntur Romli, Nong Darol Mahmada, Goenawan Mohammad, JIL, berbagai organisasi kristiani, Ahmadiyah, Budha, dan sebagainya.  Sebagian nama ini sudah sangat sering dibahas di blog ini dalam kasus-kasus pemalsuan kebenaran dan pelecehan terhadap hal-hal fundamental dalam ajaran Islam.  Belum lagi kasus kebohongan publik yang dilakukan oleh Koran Tempo terhadap Munarman yang dituduh mencekik anggota AKKBB.  Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, predikat fasik sudah pasti cocok, bahkan mungkin terlampaui oleh mereka. 

 

Di sisi lain, FPI yang selalu bersikap frontal, meskipun bisa dikritisi di sana-sini, namun tidak memiliki cacat dalam hal kejujuran.  Saya ingat pribadi Umar bin Khattab ra. yang cenderung keras dan beberapa kali nyaris berbuat kesalahan karena sifat kerasnya tersebut, namun toh beliau termasuk sahabat paling utama di sisi Rasulullah saw. dan dijamin akan masuk surga.  Dengan pertimbangan demikian, jelaslah bahwa meskipun berita versi FPI belum tentu benar, namun berita versi AKKBB (dan Koran Tempo yang sudah terbukti ketidakakuratannya) tidak boleh diterima atau dianggap shahih kecuali jika ia dikuatkan oleh berita dari pihak lainnya yang bisa kita jamin kredibilitasnya.

 

Tanggung Jawab Media Massa

Sampai dini hari tadi, saya belum melihat satu pun stasiun televisi yang mampu bersikap seimbang dalam menyikapi berita-berita dari kedua kubu (meskipun, seperti yang sudah saya jelaskan di atas, kedua kubu memang tidak seharusnya dianggap 'setara', karena satu pihak kredibilitasnya lebih rendah dari yang lain).  Berita yang ada adalah pengulangan sejak hari Ahad, dan nyaris tak ada berita tentang ketidakakuratan berita Koran Tempo, dugaan adanya anggota AKKBB yang membawa pistol, dan penyelidikan terhadap provokasi-provokasi yang dilaporkan oleh FPI.  Bahkan ironisnya, tadi pagi ada sebuah stasiun televisi swasta yang kembali menayangkan foto 'Munarman mencekik' tanpa penjelasan apa-apa, seolah membenarkan tuduhan Koran Tempo yang sudah terbukti keliru total itu.

 

Salah seorang pembaca berita menyebutkan bahwa anggota FPI akhirnya menyerahkan diri kepada Polisi, namun dengan embel-embel "meski Polisi sebelumnya harus mengerahkan ratusan personelnya."  Penggalan yang terakhir ini menunjukkan seolah-olah FPI takkan tunduk pada Polisi kalau bukan karena kalah jumlah.  Ini adalah tuduhan yang berlebihan, mengingat : (1) tidak ada bukti bahwa FPI akan melawan, bahkan barikade di depan kantor FPI telah ditinggalkan sejak Subuh, (2) Habib Rizieq pernah ditahan sebelumnya, dan beliau tak pernah melawan Polisi, dan (3) FPI sendiri sudah berjanji akan sukarela menyerahkan diri asal pemerintah membubarkan Ahmadiyah.  Dalam pandangan saya, media massa jelas-jelas telah berpihak dan tidak netral lagi.

 

Menuai Badai

Dahulu sekali, orang tua saya mengajarkan saya bahwa emosi manusia adalah hal yang misterius dan sangat berbahaya.  Oleh karena itu, kita tidak boleh bermain-main dengannya.  Jika kita dengan sengaja menyinggung perasaan seseorang, maka jangan salahkan rumput yang bergoyang jika orang itu memberikan perlawanan secara fisik.  Banyak kasus pembunuhan yang diawali dengan ejekan dan penghinaan.  Tentu kita tidak membenarkan orang yang membunuh, namun pihak yang menghina pun sebenarnya hanya memetik apa yang telah ditanamnya sendiri.

 

Sejauh ini, kita belum mendengar penyelidikan Polisi terhadap provokasi-provokasi yang konon telah dilontarkan oleh pihak AKKBB (menurut laporan FPI).  Cukup menarik juga jika kita melihat betapa semua rekaman yang beredar hanya meliput proses ketika bentrokan telah terjadi.  Apa benar semua orang menyalakan kameranya tepat ketika bentrokan terjadi?  Mengapa tidak ada satu pun rekaman yang menunjukkan apa yang terjadi sebelum bentrokan terjadi?  Sebab, jika memang benar AKKBB memprovokasi (konon dengan kata-kata seperti "laskar kafir", bahkan ada pula Korlap AKKBB yang memaki dengan kata-kata "Islam anjing!" dalam keadaan penuh amarah), maka bentrokan tersebut harus dilihat dari dua arah yang berbeda.  Tanpa harus membenarkan tindakan FPI, maka provokasi tersebut (jika memang benar ada provokasi) adalah sebab langsung terjadinya bentrokan.

 

Jika kita melihat aturan Islam, maka kita dapati bahwa membela kehormatan adalah salah satu jalan menuju syahid.  Artinya, orang yang mati ketika membela kehormatan dirinya bisa dianggap sebagai syuhada, apalagi jika membela kehormatan agamanya.  Artinya lagi, kehormatan adalah suatu hal yang pantas untuk diperjuangkan dengan bertaruh nyawa sekalipun.  Maka, jika ada yang menyebut "Islam anjing!" atau "Qur'an itu kitab suci paling porno", atau menyebarkan fitnah bahwa kita telah mencekik orang tak bersalah, maka hal itu adalah alasan yang cukup valid untuk mengobarkan jihad.  Oleh karena itu, penyelidikan harus segera dilaksanakan sampai tuntas agar duduk perkaranya menjadi jelas.  Sayangnya, hal ini belum terlaksana.

 

wassalaamu'alaikum wr. wb.

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang