Si Kentang Yang Buruk Rupa

Publikasi: 14/05/2003 07:48 WIB
eramuslim - Apa yang ada di benak kalian jika mendengar istilah ‘cuci gudang” ? Mungkin yang terbayangkan adalah memilih segala sesuatu yang selama ini menjadi isi gudang. Barang yang tidak berguna dan tidak layak pakai akan masuk ke dalam tong sampah. Barang yang masih layak pakai tapi tidak lagi berguna akan dijual dengan harga sangat miring sebagai barang obral. Barang yang masih layak pakai juga masih berguna akan digunakan lagi. Itu kalau di sebuah perusahaan. Kalau dalam rumah tangga dan tugas keseharian ibu rumah tangga seperti aku, maka tidak ada istilah ‘cuci gudang’, yang ada adalah istilah ‘cuci kulkas”.

Kulkas itu kan isinya bisa bermacam-macam. Paling tidak kulkas di rumahku. Mulai dari sayuran, daging, minuman, makanan, bumbu masakan, obat yang harus selalu tersedia di rumah bahkan hingga alat-alat kosmetik. Lipstik, maskara, pelembab, cream untuk creambath, lulur, masker wajah, tonik rambut semua ikut masuk kulkas. Bahkan ada juga keping kaset audio disana. Mungkin cuma gajah yang tidak ada di sana. Meski semua orang sudah memberitahuku caranya memasukkan gajah ke dalam kulkas tetap saja hanya gajah yang tidak ada di dalam kulkasku. Acara cuci kulkas sesungguhnya adalah acara yang tidak istimewa dan sama sekali tidak menarik. Itu sebabnya aku sering mengajak anggota rumah yang lain untuk ikut serta meramaikannya. Biasanya sering muncul cerita menarik dari keterlibatan permata-permata kecilku yang selalu menganggap semua kegiatan yang dilakukannya adalah hal yang mempunyai sisi menarik.

“Tolong ambilkan ibu kantung plastik belanjaan yang besar dong.” Si sulung tidak langsung mengerjakan perintahku tapi memandang wajahku dengan sebuah tanda tanya besar bertengger di wajahnya.

“Buat apa bu?” Tanyanya dengan rasa ingin tahu yang besar. Usianya baru akan memasuki tujuh tahun.

“Ini.. ibu mau membuang sayuran busuk dan rusak yang ada di kulkas. Mereka tidak mungkin lagi dimasak, nanti malah jadi racun di tubuh kita.” Mendengar kata racun, si sulung langsung bergerak mengambil kantong plastik belanjaan yang sudah tak terpakai dan membentangnya sehingga aku bisa leluasa menumpahkan sayuran yang sudah rusak ke dalam kantong tersebut. Ada buncis yang sudah berwarna kehitaman, ada wortel yang sudah sangat keriput, capsicum yang sudah loyo, bawang merah yang sudah peyot, tomat yang sudah mulai berjamur dan kentang yang sudah sangat dekil permukaan kulitnya. Si sulung memandang semua sayuran tersebut dengan ekspresi wajah serius.

“Kenapa sayurannya dibuang bu?“
“Sudah jelek, mungkin sudah rusak.”
“Apa semua yang jelek dan rusak harus dibuang?”
“Ya. Semua yang jelek dan rusak harus dibuang, … apa saja yang jelek dan rusak harus dibuang.” Aku memberi penekanan intonasi suara pada pernyataan terakhirku. Maksudku untuk mengingatkan dia bahwa segala sesuatu yang jelek dan merusak itu tidak boleh dipelihara.

“Apakah yang jelek dan rusak itu bisa dipelihara agar tumbuh baik lagi bu?” Wah. Aku terdiam sejenak dari kegiatanku mencuci bak sayuran. Pertanyaan yang keluar dari bocah usia tujuh tahun kurang ini terasa menggoda. Jika aku menjawab tidak bisa, itu sama artinya aku mengajarkan padanya bahwa harapan itu adalah sebuah tindakan sia-sia dan mukjizat itu adalah sesuatu yang hanya ada di cerita dongeng saja. Sedangkan jika aku menjawab bisa, aku tidak tahu ide apa yang sekarang sedang berputar di dalam kepala anak sulungku ini.

“Kamu punya ide untuk melakukan sesuatu yah?” Akhirnya aku bertanya dengan santai padanya. Lelah jika harus dialog dan menebak-nebak isi kepala orang lain, meski dia anakku sendiri. Anakku tersenyum sumringah malu-malu.

“Ah, enggak.” Dia menunduk kian malu.
“Nggak papah, bilang ajah mau ngapain, nanti ibu pikirin buat nolak atau nerimanya. Yang penting sekarang ngomong dulu.” Sambil berkata seperti itu tanpa sadar dalam hati aku berdoa agar ide yang kelak terlontar dari mulut si sulung ini tidak kelewat aneh dan luar biasa.

“Aku mau minta kentangnya bu. Boleh?”
“Kentang rusak ini?”
“Iyah, kentang rusak ini.”
“Buat apa?” Aku melirik ke beberapa butir kentang yang sekarang tampak tertidur pasrah di dalam kantong plastik yang dipegang si sulung, bercengkrama akrab dengan sayuran busuk lain mantan tetangganya di bak sayuran dalam kulkas dulu. Dalam hati cepat kuhitung jumlah kentang tersebut. Seluruhnya ada enam butir. Bentuknya masih bulat tapi warna kulitnya sudah sangat kusam, kering dan kehitaman. Juga mulai muncul banyak benjolan di sekeliling tubuhnya. Bahkan beberapa bagian tampak sudah berjamur. Benar-benar kentang yang buruk rupa.

“Buat bikin percobaan.”
“Percobaan?”
“Iyah, percobaan. Aku mau tanam mereka di halaman depan.”
“Terus…. Percobaannya dimana, tentang apa?”
“Ya, nyoba ajah dia masih bisa tumbuh apa nggak.” Anakku menjawab santai sambil cengengesan. Cepat aku berpikir. Rasanya tidak ada ruginya memberi kentang busuk ini padanya. Aku tidak memerlukan kentang-kentang ini bahkan berniat untuk membuangnya ke tong sampah. Perkiraanku nasibnya di tong sampah atau di atas tanah tidak jauh berbeda. Kentang itu akan membusuk cepat atau lambat dan akhirnya bersatu kembali dengan tanah. Tapi kalau aku berikan pada anakku, rasa ingin tahunya akan terobati. Apakah kentang itu akan mati membusuk di tanah atau sebaliknya tumbuh subur kelak, semua akan memenuhi rasa ingin tahunya akan sebuah kehidupan yang terjadi pada makhluk hidup ciptaan Allah. Tidak ada yang rugi dan tidak ada yang terluka.

“Baik. Ambillah. Tapi kamu harus tanggung jawab yah, kalau sudah sanggup mau memelihara maka pelihara sebaik mungkin, tentang apakah dia berhasil tumbuh atau tidak itu urusan belakangan. “

“Siip deh bu, insya Allah aku pelihara.” Dan spontan pegangannya pada kuping kantong plastik dilepaskannya begitu saja. Tangannya dengan gesit tanpa rasa risih atau jijik meraup kentang-kentang yang sudah bercampur dengan sisa makanan busuk di dalam kantong. Dengan kedua telapak tangannya yang mungil dia meraih dan memeluk kentang-kentang itu dan berlari menuju ke halaman depan rumah. Meninggalkan aku seorang diri di dapur dengan pekerjaan cuci kulkasku.

Senyap. Dapur yang semula berisi senandung lagu dari mulut kecil anakku kembali senyap. Dengan cekatan aku segera secepatnya menyelesaikan pekerjaan cuci kulkasku. Kegiatan yang semula menarik ini jadi terasa melelahkan jika tidak ada teman yang menemani. Segera setelah pekerjaan cuci kulkas selesai aku melesat ke depan rumah, menyusul anakku yang sekarang sudah sibuk membuat lubang-lubang kecil di atas tanah dengan bantuan sekop mininya.

Anakku memang punya minat cukup besar pada kegiatan tanam-menanam. Sekarang, di atas tanah sudah tercetak tiga buah lubang kecil. Masih kurang tiga lubang kecil lagi untuk tempat bersemayam keenam kentang yang kuberikan padanya. Kutatap wajah anakku yang penuh semangat. Rasanya semangat yang dimilikinya menulari semangatku dan mampu menghilangkan sikap apatis terhadap kentang yang buruk rupa. Jika hidayah Allah bisa sampai pada siapapun tanpa mengenal bentuk fisik, kondisi sosial ekonomi maupun segala ukuran yang dibuat manusia untuk membedakan manusia satu dengan manusia lain sesuka mereka, maka bisa jadi hal ini juga berlaku pada kentang yang buruk rupa. Tak ada yang tahu bagaimana nasib hari esok bagi si kentang yang buruk rupa yang tampak sudah separuh mati tersebut, tapi hanya Allah yang Maha Berkuasa untuk menentukan keberlangsungan nasib dan hidupnya. Terkadang rasa malas untuk berusaha memulai sebuah usaha baru, rasa sungkan untuk mendobrak sebuah kemapanan dan rasa segan untuk memulai sebuah langkah awal mampu menyingkirkan sebuah keyakinan bahwa ada Allah yang akan membantu dimana saja dan kapan saja. Pun tak jarang mampu menyingkirkan keyakinan bahwa ada Allah yang Maha Berkuasa atas segala sesuatunya di belakang semua kejadian yang berlangsung di atas muka bumi ini. Sekali lagi, untuk sebuah pelajaran berharga tentang sisi kehidupan, anakku yang masih sangat belia kembali mengajarkan aku sebuah pelajaran yang sangat berharga. Dengan semangat dan melupakan rasa jijik dan risih pada tanah yang sudah menjadi lumpur karena tersiram air terlalu banyak (anakku menyiramnya agar tanah mudah digali) kucakar tanah dengan tangan telanjang dan sambil bersenandung kami menanam kentang-kentang yang nyaris busuk itu di dalam tanah.

Seminggu berlalu tanpa ada tanda-tanda kehidupan yang berarti dari si kentang.

Sebulan berlalu dan tanah yang semula bergunduk kini mulai terlihat rata hingga sudah tak begitu kentara dimana letak si kentang yang buruk rupa itu bersemayam.

Dua bulan kemudian rumput jengki mulai tumbuh semrawut. Juga tanaman liar yang berbunga sangat mungil mulai berkeliaran. Nasib si kentang yang buruk rupa? Wallahu’alam.

Tiga bulan terlampaui sudah. Anakku yang semula sering bertanya berapa lama tanaman kentang akan keluar akarnya mulai berhenti bertanya. Rasanya, sebuah kenyataan tentang hidup juga harus dia terima dan resapi. Yaitu bahwa kehidupan dan kematian murni berada di tangan Allah, Tuhan semesta alam. Siapapun yang Allah kehendaki untuk hidup, akan hidup dan siapapun yang Allah kehendaki untuk mati akan mati, bagaimanapun caranya. Tapi itu tidak mematikan semangatnya untuk tahu tentang rahasia alam dan kehidupan. Dia tetap bersemangat untuk bereksplorasi. Kali ini, biji jeruk yang dipungutnya ketika kami selesai makan jeruk sudah dia tanam di lubang yang tidak jauh dari tanaman kentang. Itupun dengan satu kesan yang cukup mendalam di hatiku. Yaitu ketika dia bertahan untuk tidak membongkar tanah di sekitar kentang yang ditanamnya. “Biarkan saja, siapa tahu kentangnya tumbuh. “. Ah, harapan. Tak bijak jika kita memberangus sebuah harapan meski secara akal sehat harapan itu rasanya sesuatu yang mustahil. Bukankah dengan adanya harapan maka manusia akan selalu berusaha dan bukankah sekali lagi, yang maha berkuasa untuk memberikan jawaban pada sebuah harapan itu hanya Allah semata?

“Bu.. Ibu… Ikut aku deh.” Aku sedang menjahit sebuah gaun ketika si sulung menarik tanganku mengajak ke halaman depan.

“Ada apa?”
“Aku mau memperlihatkan sesuatu.” Aku menurut dan itu membawaku menuju ke halaman depan dimana di sebuah tanah yang lembab kini tampak enam batang kecil yang tumbuh berjajar di atasnya dengan dua buah daun yang mulai mekar.

“Ini kentang kita dahulu bu. Dia sudah tumbuh sekarang.” Anakku memperlihatkan dengan sebuah intonasi suara yang penuh semangat dan rasa percaya diri yang memenuhi rongga dadanya. Usahanya memelihara sebuah harapan kini sudah terjawab sudah. Subhanallah. Aku terkesima dengan keberadaan enam makhluk hidup penghuni baru dunia ini. Mereka tumbuh dan mampu mematahkan mitos bahwa tidak selamanya yang rusak dan buruk rupa itu tidak punya harapan untuk memulai hidup baru yang benar-benar baru. Hidayah dan karunia Allah bisa diberikan pada siapa saja, baik mereka yang duduk di singgasana emas maupun mereka yang terpuruk di tempat-tempat yang hina dan tak dipandang orang. Subhanallah. Maha Suci Allah. (Ade Anita)

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Para Ayah, Di Manakah Kalian?