HARLAH, NATAL, DAN MAULID

Di kutip sebagai bahan pemikiran
--------------------------------------------
Oleh: Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Menggunakan ketiga kata di atas dalam satu napas tentu banyak
membuat orang marah. Seolah-olah penulis menyamakan ketiga
peristiwa itu karena bagi kebanyakan Muslimin, satu dari yang
lain sangat berbeda artinya.

Harlah (hari lahir) digunakan untuk menunjuk pada saat kelahiran
seseorang atau sebuah institusi.

Dengan demikian, ia memiliki "arti biasa" yang tidak ada
kaitannya dengan agama. Sementara bagi Muslimin, kata Maulid
selalu diartikan saat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kata Natal
bagi kebanyakan orang, termasuk kaum Muslimin dan terlebih-lebih
umat Kristen, memiliki arti khusus yaitu hari kelahiran Isa
Al-Masih.

Karena itulah, penyamaannya dalam satu napas yang ditimbulkan
oleh judul di atas dianggap "bertentangan" dengan ajaran agama.
Karena dalam pandangan mereka, istilah itu memang harus dibedakan
satu dari yang lain. Penyampaiannya pun dapat memberikan kesan
lain, dari yang dimaksudkan oleh orang yang mengucapkannya.

Natal, yang menurut arti bahasanya adalah sama dengan kata
harlah, hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia
mempunyai arti khusus, lain dari yang digunakan secara umum
-seperti dalam bidang kedokteran, seperti perawatan prenatal yang
berarti "perawatan sebelum kelahiran". Yang dimaksud dalam
peristilahan 'Natal' adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia
oleh "perawan suci" Maryam.

Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran
anak manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia.
Karena kaum Nasrani mempercayai adanya dosa asal. Anak manusia
yang bernama Yesus Kristus itu sebenarnya adalah anak Tuhan, yang
menjelma dalam bentuk manusia, guna memungkinkan "penebusan dosa"
tersebut.

Sedangkan Maulid adalah saat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pertama
kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin
al-Ayyubi dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi itu.
Dengan maksud untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar
menang dalam Perang Salib (crusade), maka ia memerintahkan
membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad tersebut, enam
abad setelah Rasulullah wafat.

Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam berbagai
bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di Saudi Arabia.
Karya- karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi
dan prosa untuk "menyambut kelahiran" itu.

Karenanya dua kata (Natal dan Maulid) yang mempunyai makna khusus
tersebut, tidak dapat dipersamakan satu sama lain, apa pun juga
alasannya. Karena arti yang terkandung dalam tiap istilah itu
masing-masing berbeda dari yang lain, siapapun tidak dapat
membantah hal ini.

Sebagai perkembangan "sejarah ilmu", dalam bahasa teori Hukum
Islam (fiqh) kedua kata Maulid dan Natal adalah "kata yang lebih
sempit maksudnya, dari apa yang diucapkan" (yuqlaqu al'am wa
yuradu bihi al-khash). Hal ini disebabkan oleh perbedaan
asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan manusia
yang sangat beragam itu. Bahkan tidak dapat dimungkiri, bahwa
kata yang satu hanya khusus dipakai untuk orang-orang Kristiani,
sedangkan yang satu lagi dipakai untuk orang-orang Islam.

Natal, dalam kitab suci Alqur'an disebut sebagai "yauma wulida"
(hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir
dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip:
"kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma
wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud.

Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: "Kedamaian atas
diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu 'alaiyya yauma wulidtu),
jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa. Bahwa kemudian Nabi
Isa "dijadikan" Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah suatu hal
yang lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan Yesus itu.

Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur'an, juga
sebagai kata penunjuk hari kelahiran-Nya, yang harus dihormati
oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus
dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama
tetapi dengan maksud yang berbeda, adalah hal yang tidak perlu
dipersoalkan. Jika penulis merayakan Natal adalah penghormatan
untuk beliau dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi
Allah SWT.

Sedangkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (Saladin the Saracen),
penguasa dari wangsa Ayyub yang berkebangsaan Kurdi/ non-Arab
itu, enam abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, harus berperang
melawan orang-orang Kristiani yang dipimpin Richard berhati singa
(Richard the Lion Heart) dan Karel Agung (Charlemagne) dari
Inggris dan Prancis untuk mempertanggungjawabkan mahkota mereka
kepada Paus, melancarkan Perang Salib ke tanah suci.

Untuk menyemangatkan tentara Islam yang melakukan peperangan itu,
Saladin memerintahkan dilakukannya perayaan Maulid Nabi tiap-tiap
tahun, di bulan kelahiran beliau. Bahwa kemudian peringatan itu
berubah fungsinya, yang tidak lagi mengobarkan semangat
peperangan kaum Muslimin, melainkan untuk mengobarkan semangat
orang-orang Islam dalam perjuangan (tidak bersenjata) yang mereka
lakukan, itu adalah perjalanan sejarah yang sama sekali tidak
mempengaruhi asal-usul kesejarahannya.

Jadi jelas bagi kita, kedua peristiwa itu jelas mempunyai asal-
usul, dasar tekstual agama dan jenis peristiwa yang sama sekali
berbeda. Ini berarti, kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut
menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari
Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu
yang dibolehkan oleh agama. Penulis menghormatinya, kalau perlu
dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannya bersama-sama.

Dalam literatur fiqh, jika kita duduk bersama-sama dengan orang
Lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim
diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak
turut dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan
"ganjalan" bagi kaum muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran
mereka akan "dianggap" turut berkebaktian yang sama.

Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan,
sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah
selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk
menghormati kelahiran Isa al-Masih.

Inilah "prosedur" yang ditempuh oleh para pejabat kita tanpa
mengerti sebab musababnya. Karena jika tidak datang melakukan hal
itu, dianggap "mengabaikan" aturan negara, sebuah masalah yang
sama sekali berbeda dari asal-usulnya.

Sementara dalam kenyataan, agama tidak mempersoalkan seorang
pejabat datang atau tidak dalam sebuah perayaan keagamaan. Karena
jabatan kenegaraan bukanlah jabatan agama, sehingga tidak ada
keharusan apapun untuk melakukannya.

Namun seorang pejabat, pada umumnya dianggap mewakili agama yang
dipeluknya. Karenanya ia harus mendatangi upacara-upacara
keagamaan yang bersifat 'ritualistik', sehingga kalau tidak
melakukan hal itu ia akan dianggap 'mengecilkan' arti agama
tersebut.

Itu adalah sebuah proses sejarah yang wajar saja. Setiap negara
Berbeda dalam hal ini, seperti Presiden AS yang tidak dituntut
untuk mendatangi peringatan Maulid Nabi Saw. Di Mesir umpamanya,
Mufti kaum Muslimin-yang bukan pejabat pemerintahan- mengirimkan
ucapan selamat Natal secara tertulis, kepada Paus Shanuda
(Pausnya kaum Kristen Coptic di Mesir).

Sedangkan kebalikannya terjadi di hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha, bukan pada hari Maulid Nabi SAW. Padahal di Indonesia
pejabat beragama Kristiani, kalau sampai tidak mengikuti
peringatan Maulid Nabi SAW akan dinilai tidak senang dengan
Islam, dan ini tentu berakibat pada karier pemerintahannya.

Apakah ini merupakan sesuatu yang baik atau justru yang buruk,
penulis tidak tahu. Kelanjutan sejarah kita sebagai bangsa, akan
menunjukkan kepada generasi-generasi mendatang apakah arti moral
maupun arti politis dari "kebiasaan" seperti itu.

Di sini menjadi jelas bagi kita, bahwa arti pepatah lain padang
lain ilalang, memang nyata adanya. Semula sesuatu yang mempunyai
arti keagamaan (seperti perayaan Natal), lama-kelamaan
"dibudayakan" oleh masyarakat tempat ia berkembang. Sebaliknya,
semula adalah sesuatu yang "dibudayakan" lalu menjadi berbeda
fungsinya oleh perkembangan keadaan, seperti Maulid Nabi saw di
Indonesia.

Memang demikianlah perbedaan sejarah di sebuah negara atau di
kalangan suatu bangsa. Sedangkan di negeri lain orang tidak
pernah mempersoalkannya baik dari segi budaya maupun segi
keyakinan agama. Karenanya, kita harus berhati-hati mengikuti
perkembangan seperti itu. Ini adalah sebuah keindahan sejarah
manusia, bukan? *

Jerusalem, 20 Desember 2003
Penulis adalah Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB.

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang