Sayyid Qutb dan Ayat-Ayat Jihad

Sayyid Qutb adalah pemikir besar.  Ia dikenal dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin, Militansinya memberikan magnet kuat kader ikhwan.  Apa hubungan Sayyid Qutb dengan jihad?
Rabu, 11 Januari 2006
Oleh: Rahmat Hidayat Nasution *
Tulisan ini berawal dari artikel Dr. Syamsuddin Arif yang dimuat di web site ini tanggal 1 januari 2006, berjudul "Memahami Konsep Jihad".  Artikel tersebut memancing spirit penulis untuk mengkaji jihad dalam "bacaan" Sayyid Qutb. Selain karena beberapa bulan ini istilah jihad dicampur-adukkan dengan tindakan 'terorisme', juga karena beberapa bulan yang lalu Wakil Presiden RI kita sempat mengusulkan untuk melarang buku-buku karyanya.

Sebagaimana yang telah diketauhi, Sayyid Qutb adalah salah seorang pemikir besar Islam kontemporer. Sosoknya sangat terkenal dalam pergerakan Ikhawanul Muslimin, bahkan dirinya tergolong sebagai pensyarah ideologi Ikhwan .

Militansi, kecerdasan dan keistiqomahannya diiringi dengan tulisan dan ceramahnya yang fasih memberikan magnet yang memiliki arus kuat bagi para kader dan simpatisan Ikhawanul Muslimin.

Apa hubungan Sayyid Qutb dengan jihad? Sebagaimana Pak Syamsuddin Arif dalam artikel sebelumnya yang telah melukiskan bahwa makna jihad beberapa tahun belakangan ini telah  banyak diselewengkan menjadi makna terorisme.

Penyelewengan ini, sejatinya, bersumber dari para ilmuwan dan penulis barat. Dan untuk menjadikan argumentasi memiliki kekuatan, mereka selalu menyebut-nyebut nama Sayyid Qutb dan menjadikannya sebagai perintis gerakan Islam radikal atau fundamentalis.

Contohnya Jhon L Espsito, Ilmuwan politik Islam asal Amerika Serikat, menggolongkan Sayyid Qutb sebagai tokoh Islam militan dan radikal. Hal ini terlihat dalam tanggapannya ketika membahas Usamah bin Ladin.

Nama Sayyid Qutb selalu dijadikan rujukan dalang terorisme, dikarenakan beliau menjadi tokoh idola dari Abdullah Azzam dalam tauladan dakwah dan pergerakan dalam perjuangan Islam, sedangkan Abdullah Azzam adalah guru dari Usamah Bin Ladin.

Disamping itu, dua karya monumentalnya, Fi Zilallil Qur' an dan Ma'alim Fith-Thariq , merupakan buku yang cukup detail mengupas makna dan hal-hal yang berkaitan dengan jihad.


Pemahamannya terhadap Jihad


Sebenarnya, dalam mendefenisikan jihad, Sayyid Qutb tak jauh beda dengan Sayyid Sabiq. Yaknil; berperang untuk menegakkan kalimatullah menjadi luhur.

Keduanya mengimani dan menjadikan surat al-Anfal ayat 72 sebagai salah satu ayat disyariatkannya jihad, " Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi..."

Latar belakang keduanya setidaknya melahirkan sedikit perbedaan. Sayyid Sabiq ialah ilmuwan yang lebih banyak cenderung dalam bidang fiqh sedangkan Sayyid Qutb, sosok pemikir Muslim yang aktivitasnya lebih berkecimpung dalam bidang Harakah Islamiyah (pergerakan Islam).

Sehingga dalam menekankan nilai jihad, Sayyid Qutb sedikit lebih tinggi dari Sayyid Sabiq.

Sayyid Qutb melukiskan dalam kitab Fi Zilalil Qur' an, bahwa jihad bersifat ofensif bukan defensif. Karena watak ajaran Islam sendiri adalah ofensif dalam menyebarkan misi Islam ke seluruh jagat raya, tanpa memandang batas warna kulit dan geografis.

Dari sini dapat dipahami, bahwa Sayyid Qutb mengkritik keras pandangan para orentalis (para pemikir Eropa) yang telah mendefenisikan jihad dengan makna yang salah, yaitu pasukan Islam yang beringas dan membunuh secara membabi buta tanpa etika, sadis.

Selain itu, Sayyid Qutb juga tidak sependapat dengan kelompok yang mengatakan bahwa jihad hanyalah bersifat defenisif belaka, yang menganggap bahwa jihad, perang dan padang sudah tidak ada lagi dalam Islam, sekalipun ada hanya untuk membela diri apabila diperangi.

Seolah-olah kelompok tersebut, menurut Sayyid Qutb, beranggapan bahwa konsep jihad dengan senjata telah ternasakh (terhapus) dengan sendirinya.

Jihad sekarang hanya menggunakan lisan dan tulisan. Sehingga tak layak lagi kita memplajari bagaimana menggunakan mariam, tank dan alat-alat perang lainnya. Untuk menanggapi pemahaman tersebut Sayyid Qutb memberikan sebuah renungan, "Bayangkan seandainya saja Abu Bakar, Umar dan Utsman (radiyallahu 'anhum), setelah mampu mengamankan Jazirah Arab dari serangan pasukan Romawi dan persia, mereka duduk berpangku tangan dan tidak lagi melakukan penyebaran Islam, akankah Islam tersebar ke seluruh dunia?


Namun Sayyid Qutb menekankan dalam kitab Ma'alim fith-Thariq , bahwa jihad yang bersifat fisik dapat dilaksanakan bila dakwah Islam dirintangi.

Bila dakwah dengan lisan tidak dirintangi, maka jihad dengan lisan itulah yang dilakukan. Karena aral yang merintangi sudah tidak, kebebasan berdakwah benar-benar terjamin, dan manusia benar-benar bebas dari segala tekanan eksternal.

Sehingga prinsip tidak adanya pemaksaan agama benar-benar dapat teralisasi, sedangkan di saat adanya rintangan dan tekanan-tekanan tersebut, maka yang mesti dilakukan pertama kali adalah menghilangkan tekanan dan rintangan tersebut dengan segala kekuatan yang ada.

Dari sini, dapat dipahami bahwa Sayyid Qutb tidak semena-mena melapaskan kata 'Jihad fisik' dari lisannya. Konsep jihad selalu membawa kemaslahatan untuk masyarakat banyak, bukan sebagai konsep yang menakutkan pribadi manusia. Hal inilah yang tertanam dalam pemaham Sayyid Qutb terhadap jihad.


Surat al-Anfal dan Bara' ah


Surat al-Anfal merupakan kalam Ilahi yang menjelaskan sikap kaum kafir terhadap Rasulullah setelah disyariatkannya jihad.

Kaum kafir ketika itu terbagi menjadi tiga: orang-orang yang berdamai dengan Rasulullah, orang-orang yang memeranginya, dan orang-orang yang tunduk di bawah pemerintahannya. Allah SWT memerintahkan Rasulullah untuk memenuhi kesepakatan perjanjian dan perdamaian dengan mereka yang berdamai selama mereka tetap konsisten dengan kesepakatan tersebut. Jika dikhawatirkan mereka akan berkhianat, maka perjanjian itu dibatalkan.

Namun Rasulullah tidak diizinkan untuk memerangi mereka sehingga diketauhi dengan jelas bahwa mereka merusak perdamaian.

Ketika membaca surat al-Anfal ayat 72, 74 dan 75, Sayyid Qutb kelihatan memiliki 'suara' tinggi untuk dengan menegakkan kepemimpinan Islam mendunia. Hal ini terlihat ketika sayyid Qutb mengaitkan jihad dengan perjuangan untuk menegakkan kepemimpinan Islam.

Karena dalam pandangan sayyid Qutb, sekarang dunia telah kembali kepada Jahiliyah. Hukum Allah telah dihapuskan dari kehidupan manusia, dan manusia kembali menyembah kepada sesama manusia setelah dulu dibebaskan oleh Islam.

Sekarang dimulai lagi perjalanan baru Islam—seperti perjalanan pertama—dengan memberlakukan hukum-hukumnya secara bertahap, hingga tegaknya kembali negeri Islam dan hijrah. Setelah terciptanya kembali masyarakat dan peradaban Islam, hal ini akan mencatat bahwa peradaban besar tersebut tidak pernah sehari pun menjadi peradaban barat, tapi selamanya akan menjadi peradaban Islam.


Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa orang-orang kafir memandang Rasulullah ketika disyariatkannya jihad terbagi kepada tiga golongan. Dalam Surat Bara' ah (at-Taubah) Allah menjelaskan hukum ketiga kelompok tersebut.

Dalam tafsir Fi Zilal Qu'rannya, Sayyid Qutb menuliskan, bahwa Rasulullah diperintahkan untuk memerangi musuh beliau dari kalangan ahlul kitab sehingga mereka membayar jizyah (pajak) atau memeluk Islam.

Dan beliau diperintahkan untuk memerangi kaum kafir dan munafik dengan bertindak keras terhadap mereka. Oleh karena itu, Rasulullah Saw memerangi orang-orng kafir dengan pedang dan panah. Dan beliau memerangi orang munafik dengan lisan dan argumentasi. Di samping itu, Rasulullah diperintahkan supaya melepaskan perjanjian dengan kaum kuffar dan mengembalikan janji itu kepada mereka.


Sedangakan dalam buku Ma 'alim fit-Thariq, Sayyid Qutb melanjutkan pemikirannya tersebut dengan periode sejarah. Dalam periode Mekah dan awal hijrah ke Madinah, kata Sayyid Qutb, kaum Muslimin tidak diperintahkan untuk berperang. Mereka hanya diperintahkan, "Tahanlah tangan kamu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikan zakat... (QS. an-Nisa' [4] :77).

Tidak diizinkannya berperang pada periode Mekkah ini, menurut Sayyid Qutb, ada beberapa kemungkinan sebab: Diantaranya adalah telah terjaminnya kebebasan berdakwah di Mekah.

Fase Mekah adalah fase pendidikan dan persiapan serta untuk menghindari peperangan dalam setiap rumah penduduk (karena pada saat itu masih banyak keluarga umat islam yang belum se-akidah).

Kemudian Allah mengizinkan perang dengan kalam-Nya, "Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, "Tuhan kami hanyalah Allah..." (QS. al-Hajj [22] : 39-40).

Kemudian, Allah mewajibkan peperangan terhadap orang-orang yang memerangi mereka saja, " Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kami..." (QS. al-Baqarah [2]: 190).

Setelah itu, Allah memerintahkan untuk memerangi orang-orang Musyrik semuanya, " ...dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya..." ( QS. at-Taubah [6] : 36).

Mengutip pendangan Ibnu Qayyim dalam kitab Zaadul Ma'aad, Sayyid Qutb mengatakan bahwa peperangan dalam Islam (jihad) mengalami perkembangan yang menarik: Pertama diharamkan, lalu kemudian diizinkan. Berikutnya diperintahkan hanya untuk orang-orang yang memulai peperangan, kemudian terakhir diperintahkan untuk memerangi seluruh kaum musyrik yang ada.


Oleh kerana itu, membantah kelompok yang memandang jihad bersifat defensif, Sayyid Qutb mencoba mengajak mereka untuk menelaah kalam ilahi yang tercatat dalam surat an-Nisa: 74-76, al-Anfal: 38-40 dan surat at-Taubah: 29-32. ayat-ayat tersebut, menurut Sayyid Qutb, cukup untuk menjadi dasar disyariatkannya berjihad, dengan diiringi konsep, "Tidak ada paksaan dalam agama".

Jadi, jihad yang bersifat opensif, menurut Sayyid Qutb, merupakan landasan bagi pemuliaan manusia di muka bumi ini. Untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia dan kembali menuju kepada penghambaan kepada Allah. Sebagaimana manhaj para Anbiya' mengajak umatnya untuk semata-mata beribadah dan menaauhidkan Allah. Waallahu 'alam.
 

Penulis adalah
mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Fak. Syariah Wal Qonun, Jurusan Syari'ah Islamiyah dan Koordinator Kajian As-Safiir HMM-Kairo, Mesir Periode 2005-2006.

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang