Apa Yang Kita Dapat Dari Soeharto?

Assalamualaikum w.w.

Saya terguncang, sungguh!

Ahad siang itu, saya tertidur sejenak. Saya terbangun, kemudian langsung menyalakan TV dan melihat Mbak Tutut sedang memberikan konferensi pers sambil sesenggukan. Paginya, sekitar pukul 10.00 WIB, saya sempat mendengar kabar di televisi tentang kondisi Pak Harto yang semakin kritis, bahkan lebih kritis daripada kondisi sebelumnya sejak dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Sejak mendengar kabar itu sebenarnya sudah ada feeling bahwa beliau akan berpulang, namun ketika hal itu terjadi juga, tetap saja hati ini terguncang.

Pak Harto sudah berpulang. Maybe it's for the best.

Kelembutan hati adalah satu dari sekian banyak kelezatan iman. Rasulullah saw. dan para sahabatnya bisa menuntut balas kepada seluruh penduduk Mekkah ketika mereka memasuki kota tersebut sebagai pemenang, dan mereka berhak atas itu. Akan tetapi, hati yang lembut akan tersentuh melihat tatap-tatap tak berdaya di kota itu. Kita bukan
umat buas yang menyiksa tahanan seperti para sipir di Abu Gharib, Guantanamo dan penjara-penjara di Mesir. Para pengikut Rasulullah saw. tidak pernah punya kegemaran menyaksikan penderitaan orang lain. Begitu besarnya pun kesalahan Soeharto, hati saya terenyuh melihat nasibnya.

Tidak ada kenikmatan sedikitpun dalam menyaksikan penderitaan orang lain, siapa pun itu. Itulah sebabnya Ali ra. dengan enteng berpaling dari musuhnya ketika ia khawatir hatinya telah dikotori oleh hawa nafsu. Ali ra. memang tidak berjihad untuk menumpahkan darah orang lain. Ia tidak merasa puas melihat musuh-musuh Islam bergelimpangan.
Beliau tidak datang ke sana untuk memuaskan dirinya sendiri. Jihad dilakukan semata-mata karena perintah Allah. Kita bukan umat yang buas.

Sebagai mantan orang nomor satu di Republik ini, rasanya sulit bagi Soeharto untuk menghindar dari tanggung jawab besar atas berbagai kerusakan yang telah terjadi. Meski demikian, ada pula etika yang harus dijaga pada masa-masa berkabung seperti sekarang ini.

Terus terang saya merasa prihatin menyaksikan beberapa wawancara yang disiarkan di beberapa stasiun televisi ; seolah tak ada lagi etika dan kelembutan hati di sana. Beberapa pewawancara mengarahkan narasumber untuk membicarakan keburukan Soeharto, sedangkan sebagian narasumber benar-benar termakan umpannya tersebut. Pagi ini saya membaca di surat kabar Republika beberapa komentar (yang menurut saya) tak pantas untuk disampaikan mengenai orang yang baru saja meninggal. Mungkin
yang dikatakannya itu memang benar, namun hati seorang Muslim yang lembut (rasanya) tidak mungkin menghasilkan ucapan-ucapan yang `garang' ketika menyaksikan keperkasaan sang malaikat maut.

Cukuplah maut sebagai nasihat. Kematian semestinya sudah cukup untuk menggetarkan hati setiap Muslim. Kematian siapa pun, baik saudara maupun musuh, baik rakyat jelata maupun diktator, baik pengusaha maupun tukang becak, baik ulama maupun nabi palsu. Hati yang lembut akan merasakan getaran-getaran yang `dikirim langsung' dari akhirat, kemudian menjadikannya sebagai nasihat.

Tidak ada kata-kata buruk yang pantas keluar di hadapan maut. Maut yang sama yang akan kita hadapi suatu saat di masa depan. Entah besok, lusa, bulan depan, atau mungkin menjelang Ashar hari ini.  Tidak ada yang aman dari jadwal yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Kita bukan umat buas yang bersorak-sorai melihat kematian orang lain, siapa pun itu. Jangan samakan umat Rasulullah saw. dengan manusia-manusia keji yang berpesta-pora di jalan-jalan ketika mendengar kabar kematian Hasan al-Banna. Tidak ada pesta yang pantas untuk digelar ketika menyaksikan kematian siapa pun. Siapa pun!

Maut adalah nasihat. Kita tak mungkin melewatkan kejadian ini begitu saja tanpa mengambil pelajaran darinya. Seorang anak petani yang tangguh dan mampu `merayap' hingga karirnya melesat sebagai Pangkostrad, kemudian melengserkan seorang Presiden dan mengambil jabatannya, kemudian memerintah sebuah negeri yang luas dan kaya selama 32 tahun, mendapat begitu banyak kemewahan dunia dan bintang lima di pundaknya, akhirnya pergi meninggalkan kita. Begitu banyak hikmah dari kejadian ini. Tidak mungkin bersikap sombong setelah menyaksikan akhir hidup Pak Harto. Tidak wajar berkata-kata buruk di hadapan maut yang telah Allah janjikan kepada setiap manusia.

Begitu banyak hikmah, begitu sedikit waktu untuk mencernanya.

wassalaamu'alaikum wr. wb.
(Dari akmal.multiply.com)

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang