Kedewasaan Made In India

Komentar : Kalau China terlalu jauh, India pun cukup : "Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri 'India' " ;P

Publikasi: 09/12/2003 10:52 WIB
eramuslim - Usai sholat Dzuhur kami langsung menuju kediaman Bapak Konsul Jenderal RI, memenuhi undangan makan siang bersama, masih dalam suasana Lebaran. Tanpa diliputi rasa ‘sungkan’ ikut bersama saya dua orang rekan asal India, Mohammad Thufail dan Abdul Karim, yang sengaja saya ajak untuk mengenal sebagian rasa ‘Inilah Indonesia ku’! Bersalam-salaman, kemudian....makan! Itulah acara intinya.

Kebetulan di ruang makan hanya ada kami bertiga, karena yang lainnya sudah selesai makan dan berada di ruangan depan. Kami, cowok semua, memasuki ruangan, sementara di ruang sebelah, disaat saya menjelaskan sebagian bahan dasar makanan yang tersaji kepada dua orang ini, terdengar berulang kali “Ha...ha.....ha....hi..hiii...hiii.!”, suara ibu-ibu, mbak-mbak, tertawa. Entah apa obyek pembicaraannya. Saya sendiri, karena terbiasa, tidak ‘risih’ mendengarnya. Tetapi dua orang India yang bersama saya, ekspresinya lain. Mohammad Thufail sering memalingkan pandangannya ke saya bilamana ‘geeerrrrr....’ terdengar. Akupun tersenyum. Maklum!

“Kenapa perempuan Indonesia kok bicaranya tidak bisa pelan dan tertawa seperti itu?” Aku tersentak oleh pertanyaannya. Tersinggung? Tentu saja “Ya!” Apalagi pertanyaan (Baca: pernyataan!) Thufail adalah bentuk generalisasi, karena tidak semua perempuan Indonesia bersikap seperti di ruang sebelah. Mereka di sana memang omongannya keras dan tertawanya ‘cekikikan’ orang Jawa mengistilahkan. Padahal lebih dari separuh diantara mereka berjilbab? Lantas apa hubungannya jilbab dan omongan serta ketawa yang keras ini? Barangkali itulah batasan yang dimengerti oleh Mohammad Thufail. Bahwa muslimah dan omongan keras ini erat sekali kaitannya.

Sebagai ‘tuan rumah’, aku ingin ‘membela’ mereka, betapapun yang diungkapkan Mohammad Thufail adalah nyata dan benar. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa hendaklah perempuan-perempuan itu tidak mengeraskan suaranya..... Mohammad Thufail secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa sikap perempuan-perempuan yang berbicara keras dan tertawa lebar tidak dibenarkan. Itu singkatnya! Namun untuk berbicara langsung seperti itu, kayaknya ‘kasar’. Makanya, pada hemat Thufail, dari pada mendiagnosa, lebih baik bertanya, lebih ‘sopan’. Tapi bagi saya, keduanya tidak beda, bertanya atau mendiagnosa, intinya sama! Setali tiga uang!

“Perempuan Indonesia biasanya memang berbicara dan tertawa keras....tetapi mereka tidak membicarakan orang lain Thufail! Tidak seperti perempuan India, mereka berbicara pelan-pelan, namun menggunjingkan orang lain....we call it ‘ngrumpi’!” Gurauku, yang dijawab Thufail pula dengan tawa. Kami pun tertawa (Baca: ha..ha..ha...), namun tidak sekeras di ruangan sebelah, melupakan obyek diskusi segar siang itu.

Beberapa kali saya ikut pertemuan, katakan temu publik, dimana laki-laki dan wanita juga kumpul, terpisah tempatnya, diantara orang-orang India. Bagi orang kita, campur baur tidak ‘masalah’. Apa yang ditemui Mohammad Thufail diantara kami yang bukan hanya terjadi pada perempuan-perempuan Indonesia, tanpa melebih-lebihkan, nyaris tidak saya temui diantara komunitas India. Mereka begitu rapi, teratur, padahal jumlahnya tidak sedikit. Tentu yang ini jangan bandingkan dengan gambaran orang India yang ada pada film-film yang beredar di Indonesia!

Saya pernah menghadiri pertemuan Indian Muslim Association di Dubai, yang diikuti tidak kurang dari 3000 peserta. Para peserta begitu tertib, tidak gadau, dan subhanallah.....menyiapkan makanan untuk 3000 orang kan tidak sedikit? Meski demikian, terkesan teratur. Mereka adalah kumpulan dari berbagai organisasi Islam India, yang tidak terkesan mengenal adanya perbedaan. Mereka bahu-membahu, mulai dari menggelar tikar hingga mengemasi sampahnya. Sementara masyarakat kita... masyaAllah.... padahal waktu itu bulan puasa, sekitar 200 orang hadir. Usai berbuka, Ta’jil, hanya sebagian yang melaksanakan sholat Maghrib, yang lainnya ngobrol, merokok, seolah tidak sholat bukan menjadi persoalan. Astaghfirullah! Pemandangan itu ada di depan mata Mohammad Ashraf, orang India lainnya yang kebetulan istrinya seorang warga Indonesia di Dubai.

Barangkali saya yang terlalu berburuk sangka terhadap orang kita sendiri, dan terlampau berbaik hati kepada India. Mungkin saja saya orang Indonesia yang ‘sok’ India. Wallahu ‘alam!

Kalau mau jujur, orang India memang banyak juga yang buruk perangainya, karena sebagian besar penduduknya yang saat ini sudah mencapai angka diatas satu miliar jiwa, didominasi oleh orang-orang Hindu. Hampir setiap hari kekerasan, pembunuhan, perkosaan, perampokan, bencana alam, kelaparan, dan lain-lain musibah kemanusiaan terjadi di daratan Asia Selatan ini akibat ulah orang India. Tapi bukankah fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia?

Kembali lagi. Kalau mau jujur, kita lebih baik mencari kebaikan mereka, tidak perlu dinventarisasi kejelekannya. Tapi kita harus pula inventarisasi kejelekan diri sendiri supaya ada upaya untuk memperbaikinya. Kita ambil hikmahnya, agar kita menjadi umat Islam yang berkualitas. Sudah begitu banyak contoh-contoh kebaikan yang bisa jadi ‘prestasi’ orang-orang India yang kita belum mampu menandinginya dalam banyak segi kehidupan.

Kita mulai dari segi pendidikan? Cendekiawan kita Nur Cholis Majid mengungkapkan perbandingan jumlah lulusan S2 kita dengan India, yang konon miskin, ternyata 1:60. Jadi jika ingin kualitas pendidikannya seperti mereka, kita masih harus belajar 60 kali lebih giat! Padahal peranan pendidikan ini penting guna meningkatkan kualitas manusia. Dari segi teknologi, hingga saat ini hanya orang asing asal India yang bisa duduk setingkat dengan orang Amerika Serikat di NASA. Hotmail.com, penemunya orang India, Sabir Bhatia namanya. Bos Microsoft Bill Gates sampai akhirnya tertarik untuk menanamkan modalnya di India, negara pengeskpor tenaga kerja komputer terbesar dari Asia, utamanya dari kota Hyderabad, pusat pendidikan komputer negara tersebut.

Perdagangan? India berada di peringkat kedua pengkespor terbesar di Timur Tengah, sementara Indonesia di posisi 10. Sampai-sampai penyiar TV BBC pun orang India! Film? Tanpa melihat kualitasnya, mereka mampu memproduksi 1000 film dalam setahun, jauh melebihi Hollywood. Film India jadi tuan rumah di negeri sendiri. Film kita? ‘Boro-boro’ jadi tuan rumah dan kualitas. Sudah bisa diproduksi saja sudah lebih dari untung!

Kebugaran? Yoga bermula dari India yang sekarang sudah mendunia. Obat-obatan? India hanyalah satu negara disamping Cina yang memiliki sejumlah perguruan tinggi dimana adalah fakultas kedokteran tradisionalnya. University of Hyderabad menyelenggarakan program doktoral untuk Ayurvedic Medicine, pengobatan tradisional India. Padahal Jamu Nyonya Menir, yang sudah puluhan tahun belum juga menyelenggarakan kursus yang diakui Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga pendidikan resmi yang tingkatannya sejajar dengan keperawatan atau kedokteran.

Tenaga kerja? Dimana di dunia ini yang tidak ada orang India nya? Amerika, Inggris, Afrika Selatan, Jepang, Malaysia, Singapore, Australia, bahkan mereka mampu menembus jaringan televisi Indonesia. Mereka menyebar ke berbagai bidang lapangan pekerjaan, mulai dari bawah tanah hingga luar angkasa. Mereka yang bekerja di hotel tadinya sebagai pelayan, tidak akan berhenti berjuang sebelum menjadi manager. Tekun dan ulet sekali! Tenaga kerja kita? Lebih dari 90 % yang kita ‘ekspor’ rata-rata tenaga kerja yang tidak atau kurang terampil.

Bahasa? Pada jaman Orde Baru kita sempat diajarkan untuk bangga dengan istilah-istilah Sansekerta, mulai dari Eka Prasetya Panca Karsa hingga Purna Karya Nugraha. Padahal isitilah-istilah tersebut berasal dari bahasa Sanskrit, India, yang sebenarnya kita ‘pinjam’dari mereka. Suatu hari, rekan saya, Mohammad Koya, orang India Selatan bertanya kepada saya, “Kamu tahu artinya Megawati? Itu diambil dari bahasa kami!” katanya ringan. Lho? Jangankan kata megawati, kata-kata lainnya seperti ‘Apem, Karena, Sampurna, Surya’ dan masih banyak lagi...ternyata....aslinya milik orang India! Kalau ingin tahu nama negara yang paling bangga dengan bahasa dan tulisannya sendiri tanpa harus ketinggalan berbahasa internasional, Inggris, India lah jawabnya! Bahasa kita? Bahasa dan huruf Jawa saja sudah lama ditinggalkan, dan huruf-huruf ABC sampai Z masih harus pinjam kan?

Agama? Buku-buku Islam kondang banyak yang dihasilkan oleh maulawi-maulawi asal India. Indonesia ‘pandai’ menterjemahkannya. The Holy Quran English version, standard, yang dipakai di dunia Islam adalah terjemahan karya Abdullah Yusuf Ali yang asal India. The Nobel Quran and The Interpretation juga karya Muhammad Muhsin Khan, dosen di Madinah University. Ahli Perbedaan Agama Ahmed Deedat yang berwarga negara Afrika Selatan juga aslinya India. Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghozali dikemas dalam Bahasa Inggris oleh Maulana Fazlul Karim. Dan masih banyak lagi contoh-contoh prestasi mereka yang membuat kita iri. Sementara ribuan lulusan IAIN dan Al Azhar-Cairo kita bukan apa-apa jika dibanding dengan prestasi ulama-ulama India dalam kaitannya dengan penerbitan buku berkelas internasional. Karena buku-buku kita, yang sudah mahal, ternyata hanya muatan lokal, alias untuk mereka yang mampu berbahasa Indonesia!

Jika ingin berhasil dalam bisnis di Timur Tengah, ‘pekerjakan orang India’, ungkapan itu tertanam kuat dalam dunia bisnis disana. Namun bukan hanya segi bisnis duniawi saja. Dalam persoalan bisnis ukhrawi, keagamaan, kita juga butuh banyak belajar dari mereka. Pusat Jamaah Tablig terbesar di dunia ada di daerah yang disebut Nizamuddin, New Delhi. Padahal umat Islam di Indonesia lebih banyak ketimbang di India kan?

Keuletan mereka dalam berorganisasi, dedikasi mereka terhadap organisasi, tidak diragukan. Abdul Azeem, sekarang sudah balik ke India, 17 tahun lamanya setiap minggu mengedarkan buletin organisasinya, ke sekitar 10 orang langganan dibawah koordinasinya, hanya untuk memperoleh Dhs 2 per eksemplarnya (sekitar Rp 4000). Dia juga rajin mengumpulkan sadaqah orang-orang di desanya setiap bulan sekali secara tetap tidak kurang dari 10 tahun. Masih banyak azeem-azeem lainnya yang saya temui yang melakukan kegiatan serupa.

Orang India paling bangga dengan hasil produksinya sendiri. Mereka yang terjun di organisasi-organisasi Islam, tanpa melihat kualitas buletinnya, terpanggil untuk membelinya secara rutin sebagai pelanggan agar secara finansial organisasinya tetap eksis. Mereka tidak akan berpikir dua tiga kali untuk membeli buku-buku Islam yang terpajang di meja-meja kantor organisasi Islamnya. Mereka khusyuk setiap kali mendengarkan khotbah-khotbah yang disampaikan oleh dai-dai, meskipun kelasnya tidak seperti Aa Gym. Orang kita? Akan menganggap khotbah ‘berkualitas’ jika banyak dibumbuhi oleh lawakan-lawakan segar. Subhanallah!

‘Belomba-lombalah kamu mencari kebajikan!’Begitu perintah Allah SWT. Ada banyak hal yang perlu kita pelajari dari orang India. Sekiranya Malaysia dan Singapura tidak perlu menyeberang dari tempat kita, ingin rasanya teman-teman saya ajak untuk melihat dari dekat bagaimana muslim India disana hidup dan menghidupkan Islam. Sehingga tidak perlu harus jauh-jauh ke negeri asalnya, anak benua Asia Selatan, apalagi harus ke Timur Tengah.

Apa yang terpampang dalam film-film India memang banyak yang tidak pantas kita tiru, karena muatannya tidak lebih dari budaya kehidupan bebas, sebagaimana umumnya film-film kita. Namun demikian dari uraian diatas, sudah jelas bahwa kita masih harus menimba ilmu banyak dari mereka, agar lebih dewasa lagi. Tidak sekedar menghindari tawa dan berbicara keras saja. Kita perlu belajar banyak supaya bisa dewasa seperti halnya orang-orang Islam kita dulu yang berguru mendapatkan kedewasaan tentang Islam kepada Maulana Malik Ibrahim, salah satu sunan Walisongo kondang yang makamnya berada di Gresik-Jawa Timur. Tahukah anda dari mana asal beliau?


Syaifoel Hardy
shardy@emirates.net.ae

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang