Kesederhanaan

Oleh: Gede Prama


Setiap bentuk kejadian dalam hidup, selalu menghadirkan makna.
Perjalanan hidup sebagai konsultan, kerap membuat saya harus bergaul
intensif dengan sejumlah orang kaya dan berada. Berbagai macam
pengalaman telah saya lalui bersama mereka. Ada yang menyenangkan
seperti bermain golf, jet ski, menginap di hotel berbintang sampai
dibelikan barang-barang mewah.

Ada juga yang menyengsarakan, seperti dimarahi istri klien tanpa tahu
sebab-musababnya, digoda ikut masuk ke dalam kehidupan-kehidupan
menyimpang,dan masih ada lagi yang lain.

Syukurnya, sampai sekarang saya masih bisa menjaga jarak secara
seimbang terhadap semua ini. Namun, ada satu hal yang menggoda saya
untuk diulas di sini. Orang yang kaya materi, tidak sedikit yang
menyesali hidupnya. Jarang berkata syukur kepada Tuhan. Sejumlah
kekayaan yang diwariskan orang tua mereka, kerap malah membuat
kehidupan penuh perkelahian, kebencian, dan perselisihan.

Tidak sedikit keluarga pewaris saham perusahaan besar, yang selama
hidupnya berkelahi tiada hentinya. Ditandai oleh banyaknya segi tiga
kebencian. Kecurigaan terhadap setiap anggota keluarga digabung
menjadi satu, kekayaan yang dikumpulkan secara susah payah oleh
generasi pendahulu, tidak membuat hidup lebih mudah, malah sebaliknya
membuat semuanya jadi sengsara. Memang, ada banyak sebab yang
bersembunyi di balik fenomena ini. Namun, satu hal pasti,
ketidakmampuan untuk hidup dan berpikir sederhana, telah membawa
mereka pada lautan kehidupan yang penuh dengan tekanan.

Saya mensyukuri sekali kehidupan yang bergerak perlahan dari tataran
yang sangat bawah. Ketika masih mengontrak dari satu rumah kecil ke
rumah kecil yang lain, rasanya bahagia sekali kalau bisa memiliki
rumah BTN.

Ketika masih bergelantungan di bus kota, rasanya nikmat sekali jika
bisa punya mobil. Tatkala hidup dengan makan sangat pas-pasan, selalu
terbayang enaknya makan dengan daging yang memadai. Saat anak masih
sekolah di sekolah negeri sederhana di pinggiran Jakarta, ada cita-cita
agar mereka bisa masuk di sekolah terkemuka.

Sekarang, ketika semua itu sudah berlalu, tidak hanya rasa syukur yang
teramat sering saya ucapkan kepada Tuhan, tetapi kepala otomatis
merunduk ketika menemui orang-orang dengan tingkatan kehidupan di
bawah. Ada godaan untuk selalu menolong, bila ada kemampuan untuk
melakukannya. Dan yang paling penting, pengalaman meniti tangga
kehidupan dari bawah, membuat saya sering ingat akan pentingnya
kesederhanaan hidup.

Seperti pernah ditulis Deana Rick dan rekan di Personal Excellence
edisi Mei 1999, 'having too much can actually be a hindrance to an
attitude of gratitude because, in reality, you can not appreciate what
you have, if you have too much'. Dengan kata lain, memiliki kekayaan
yang terlalu banyak sering mengurangi rasa syukur. Sebab, penghargaan
terhadap rezeki sering menurun sejalan dengan semakin banyaknya uang
yang dimiliki.

Kesederhanaan berpikir dan hidup itu penting dalam konteks ini, karena
ia bisa menjadi jembatan yang memadai antara rezeki dan keinginan.
Rezeki, sebagaimana kita tahu mengenal batas-batas. Sedangkan keinginan
di pihak lain seperti langit, tidak ada batasnya.

Kesederhanaan bisa menjadi jembatan dalam hal ini, karena bisa menjadi
'manajer' bagi sang diri. Ia yang memilih mana yang betul-betul perlu,
dan mana yang hanya pelengkap saja. Ia yang memisahkan keinginan yang
diwarnai egoisme, dengan keinginan yang perlu dipenuhi.

Kembali ke cerita awal tentang orang kaya materi yang hidupnya penuh
percekcokan. Mereka memang punya uang, tapi pengalaman hidup langsung
di atas membuat kesederhanaan menjadi barang mewah buat mereka.

Dibandingkan dengan saya yang pernah memakan sayap ayam berbulan-bulan,
dan sekarang mudah sekali merasakan enaknya makan, makan McDonald,
Kentucky, atau malah restoran mewah sekalipun yang bagi orang kaya tadi
tidak pernah menimbulkan selera. Bagi saya yang pernah mengontrak
sejumlah rumah kecil kumuh dan sederhana, tinggal di rumah dengan tanah
ratusan meter sudah sangat memuaskan. Tetapi bagi mereka, ini hanyalah
sesuatu yang tidak perlu dihargai dan disyukuri. Untuk ukuran manusia
yang bertahun-tahun bergelantungan di bus kota, naik sedan menghadirkan
kebahagiaan tersendiri. Tetapi bagi anak orang kaya di atas, ia
hanyalah keseharian yang biasa dan hambar. Dengan latar belakang
pendidikan SD di desa, dan anak pernah sekolah di SD negeri pinggiran
Jakarta, bisa menyekolahkan anak di sekolah khusus adalah sebuah
kebanggaan tersendiri. Namun, bagi orang kaya di atas, ini hanyalah
sebuah rutinitas tanpa rasa.

Seluruh cerita dan ilustrasi ini memperkuat argumen Deana Rick, bahwa
"Greed and materialism block thankfulness." Keserakahan dan materi
menghalangi ketulusan untuk bersyukur kepada Tuhan. Sebaliknya dengan
kesederhanaan, rasa syukur; terima kasih; dan penerimaan bagi sang
hidup mudah sekali muncul. Saya tidak tahu, bagaimana pengalaman Anda.
Namun, saya amat bersyukur pada Tuhan yang pernah membawa saya pada
kelokan-kelokan kehidupan yang membuat saya sampai pada kesimpulan:
'Kesederhanaan-lah awal dari kebahagiaan'.

Saya mengisi prinsip ini dengan berjalan-jalan mengelilingi rumah tiap
sore sambil mengucap terima kasih. Menggendong dan menciumi anak-anak
bila ada kesempatan. Merayu istri seperti saat kami masih pacaran. Anda
saya kira, bisa melakukannya dengan cara Anda sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang