Itsar

Suluh (sebut saja begitu), teman kerja saya di sebuah pabrik pada sekitar tahun 200-an, ngontrak di sebuah kamar kecil beberapa ratus meter jaraknya dari tempat kami bekerja. Suluh tinggal bersama seorang adiknya.
Suatu saat, seorang teman kerja kami yang tinggal di mess seperti saya, terserang sakit yang cukup serius. Ia dianjurkan istirahat total oleh dokter. Tempat asal teman yang sakit ini cukup jauh dari kota dan tidak memungkinkan untuk pulang. Tapi, untuk tetap tinggal di mess pabrik dalam kondisi sakit, tentulah suatu hal yang menyiksa. Bagaimana bisa sempurna beristirahat sedangkan di luar kamar berisik dentang loyang, mesin diesel, riuh suara mesin oven yang roda besinya saling berkeriut saat memutar 66 loyang, riuh semburan api dari mesin blower, dan riuh orang bekerja?
Dan, inilah yang dilakukan Suluh...
Ia menawarkan pada teman kami yang sakit itu agar beristirahat di kontrakannya. Sesaat setelah mereka tiba di kontrakan, Suluh berkata, “Saya nanti malam ada urusan di masjid, berkaitan dengan kepanitiaan menyambut hari besar Islam. Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan di sana. Jadi, saya mungkin menginap di sekretariat. Kamu istirahat dulu dengan tenang di sini. Ada adikku yang bisa membantu sewaktu-waktu. Atau, kalau kau ada keperluan denganku, suruh saja adikku ke masjid.”
Tapi, tahukah Anda, apa sebenarnya alasan Suluh menginap di masjid malam itu? Ya, Anda benar. Karena, Suluh hanya memiliki... dua selimut dan dua bantal.
----
Pernahkah kita 'merelakan' kenikmatan milik kita untuk dinikmati orang lain? Pernahkah kita 'belajar' berkorban untuk saudara yang membutuhkan?
Kita mendapati cerita keutamaan orang-orang terdahulu yang begitu 'mendahulukan' kepentingan saudaranya. Bagaimanakah kisah kepala kambing yang kembali kepada pemiliknya setelah berputar semalaman dari satu orang ke orang lain? Bagaimanakah kisah tiga mujahid yang menolak diberi minum semata karena mendengar rintihan saudaranya yang kehausan?
Konsep 'itsar' yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat, selalu membuat saya takjub, betapa orang-orang semacam ini pernah menghiasi sejarah bumi ini. Di era ini, alangkah sulit menemukan realisasi itsar semacam ini dalam tataran praktis.
Tapi, selayaknya saya bersyukur, saya berkenalan dengan Suluh. Ia adalah contoh 'yang hidup' tentang itsar itu kendati tak se-'menakjubkan' apa yang saya baca dari generasi sahabat. Ya... ternyata generasi itu masih ada.
Sakti Wibowo (abu_ahmadi at yahoo dot co dot in)
(Tulisan ini terlah termuat dalam buku “Diari Kehidupan 1,” PT Syaamil Cipta Media, Bandung, 2004)

Comments

Popular posts from this blog

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Update from empowr

Jadilah Seperti Ikan Di Air Bening Yang Tenang